Tetap Bugar untuk Melepas Stigma
Terapi antiretroviral (ARV) diklaim ampuh menekan geliat HIV dalam tubuh. Butuh strategi bersama untuk membuat banyak orang terus berdaya.
Eva Dewi Rahmadiani (37) baru saja membuat bangga Indonesia. Dia jadi bagian tim Indonesia di ajang Homeless World Cup 2018 di Meksiko, 13-18 November 2018, yang mendapat Fairplay Award. Indonesia juga berhasil duduk di peringkat ke-10 dari 47 negara di ajang olahraga bagi mereka yang kerap terpinggirkan itu.
Kesabaran Eva saat berlaga bisa jadi salah satu penilaian. Jadi perempuan satu-satunya di ajang itu, dia berjibaku dengan pemain lawan yang bertubuh jauh lebih besar.
”Saya bangga diperlakukan sama seperti 500 pemain lain,” kata warga Ciumbuleuit, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (27/11/2018).
Datang dengan status HIV/AIDS, ia juga tidak diperlakukan berbeda. Salah seorang pendukung berasal dari Denmark, misalnya, meminta dan langsung memakai seragam tim yang basah karena keringat. Sejak tahun 2010, ia sudah membuka statusnya sebagai orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Tidak hanya lewat sepak bola, Eva juga menguji diri lewat ajang maraton. Pada Oktober 2018, ia menyelesaikan Jakarta Marathon 12K. Tubuhnya bugar. Jauh dari stigma lawas tentang orang dengan HIV/AIDS yang kurus kering menunggu pencabut nyawa.
”Disiplin menjalani terapi antiretroviral atau ARV selama 18 tahun terakhir jadi salah satu kunci bisa melakukan banyak hal yang tak terbayang sebelumnya,” kata mantan pengguna narkotika lewat jarum suntik itu.
Sejauh ini ARV diklaim jadi terapi paling efisien menekan jumlah virus sehingga bisa meningkatkan status imun pasien HIV. HIV adalah retrovirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Sementara AIDS ialah sindrom dengan berbagai gejala dan infeksi terkait menurunnya sistem kekebalan tubuh disebabkan HIV.
Dikenal sejak tahun 1996, penyediaan ARV mulai dilakukan pemerintah sejak tahun 2004. Awalnya, ARV diberikan pada ODHA dengan CD4, indikator ketahanan tubuh, kurang dari 350. Namun, sejak 2007, ARV bisa diberikan tanpa menunggu penurunan jumlah CD4. Tahun 2007, pemerintah menganggarkan Rp 570 miliar untuk penyediaan ARV.
ARV itu, kata Eva, didapatkan tanpa biaya. Dia biasa datang seminggu sekali ke Klinik Teratai di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, untuk mendapat 30 butir ARV. Saat ini, menurut data Kementerian Kesehatan, ada 902 fasilitas layanan perawatan, dukungan, dan pengobatan yang memberikan pengobatan ARV di Indonesia. Klinik Teratai adalah salah satunya.
Senin (26/11/2018), Eva datang lagi ke Klinik Teratai. Di kursi antrean, beberapa orang sudah tiba lebih dulu. Tidak ada satu pun yang dia kenal. Namun, ia tak ragu membuka pembicaraan dengan lelaki muda di sampingnya. Mulai dari berkenalan hingga sudah berapa lama terapi ARV, tetapi lawan bicara hanya diam tak menanggapinya.
”Saya selalu cerewet tentang ARV meski sering tidak didengarkan. Harus rutin minum ARV jika ingin terus bugar,” katanya
Tantangan
Eva benar. Tingkat kepatuhan tinggi berpotensi memberi umur panjang. Dokter pemerhati HIV/AIDS, Ronald Jonathan, mengatakan, geliat virus HIV dalam tubuh bisa ditekan lewat ARV. Tidak hanya sehat untuk diri sendiri, tetapi mampu mengurangi penularan hingga 90 persen.
”Saat rajin minum ARV, mereka bisa beraktivitas seperti banyak orang lainnya. Umur pun bisa jauh lebih panjang,” kata Ronald.
Namun, jadi yang terbaik saat ini, bukan berarti metode ini butuh penyempurnaan. Direktur Rumah Cemara, lembaga pendampingan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), Aditia Taslim, mengatakan, masih ada jurang dalam terapi ARV.
Tak cukup sekadar memberi obat, layanan ini idealnya butuh konseling khusus. Hal itu kerap terkendala padatnya pelayanan pengambilan ARV. Di Klinik Teratai, misalnya, ada sekitar 100 orang harus dilayani.
Konseling, kata Aditia, sangat vital. harus diminum setiap hari, ODHA mudah diganggu bosan. Tingkat stigma yang tinggi membuat meraka enggan melanjutkan pengobatan. Kepercayaan diri yang rendah bakal hidup bugar juga sering kali jadi tembok tebal.
”Risikonya beragam, mulai dari pengobatan ulang yang jauh lebih mahal hingga berujung kematian,” katanya.
Kondisi itu jelas menjadi tantangan besar, terutama saat Indonesia masih terkurung fenomena gunung es. UNAIDS memperkirakan ada 620.000 orang mengidap HIV di Indonesia pada 2016. Dari jumlah itu, 13 persen telah mengikuti terapi ARV.
Namun, data Kementerian Kesehatan hingga Maret 2018 menyebutkan, jumlah kumulatif terinfeksi HIV baru terdata 291.129 orang dan hanya 106.965 orang untuk AIDS. Hingga Desember 2017, jumlah penerima ARV mencapai 93.938 orang. Namun, jumlah orang yang putus obat atau tidak menggunakan ARV lagi juga masih tinggi, 43.707 orang.
Untuk itu, sejak akhir 2016 telah dicanangkan program 90-90-90 di tahun 2020 untuk menekan penularan pada tahun 2030. Target itu menyebutkan, 90 persen orang dengan HIV mengetahui statusnya, 90 persen ODHA mendapat pengobatan, dan 90 persen orang yang mendapat pengobatan mengalami penurunan jumlah virus dalam tubuhnya.
Kepala Subdirektorat HIV dan Infeksi Menular Seksual Kementerian Kesehatan Endang Budi Hastuti mengatakan, butuh peran semua pihak guna menata pelayanan dan pengobatan bagi ODHA. Salah satunya gencar mempromosikan terapi ARV dalam beragam kesempatan. Harapannya, upaya menekan penularan bisa dilakukan tepat dan cepat.
Mandiri
Sembari menunggu kebijakan tepat, kalangan menolak diam. Inisiatif mandiri membuat mereka bergerak jadi mempromosikan pentingnya ARV.
Salah satunya dilakukan Faisyal Luciano (37), konselor mandiri HIV/AIDS. Punya pengalaman belum pernah absen minum ARV sejak 14 tahun lalu, dia berbagi pengalaman lewat grup Whatsapp (WA) buatannya sendiri.
”Nama grupnya Bandung Family Support dibuat sejak 2017. Total anggota 57 orang dan 38 orang di antaranya masih menjalani terapi,” kata mantan pencandu narkotika ini.
Faisyal mengatakan, salah satu tujuan grup itu untuk meneguhkan hati anggotanya. Ia melihat, semangat itu harus terus ditumbuhkan untuk mendukung terapi ARV terus berjalan. Saling mengingatkan jadwal pengambilan dan minum ARV jadi bahasan utamanya. Pengalamannya kehilangan beberapa kawan karena berhenti minum ARV tidak ingin ia alami lagi.
Dia tidak hanya menjalin komunikasi lewat media digital. Faisyal kerap meluangkan waktu mendengarkan mantan pencandu berkeluh kesah. Dia sabar menemani peserta terapi ARV bercerita tentang dinamika menggunakan ARV. Sebagian besar, kata Faisyal, jenuh ketika meminum ARV karena harus dikonsumsi setiap hari tanpa boleh putus.
”Selalu semangat untuk tetap bugar yang kami berikan. Cukup saya saja yang kehilangan teman karena kehilangan semangat untuk tetap bugar lewat ARV,” kata Faisyal. Sejak grup WA itu pertama kali dibuat, hanya seorang yang berhenti terapi ARV dan kini tidak diketahui keberadaannya.
Rumah Cemara tahun ini juga mulai menyapa lewat aplikasi digital. Tengah dibangun aplikasi itu bakal memudahkan pengambilan ARV. Melalui sukarelawan yang terverifikasi, ARV dapat diantar tanpa harus datang pada unit layanan kesehatan. Catatannya, peserta terapi benar-benar tidak bisa datang untuk mengambil obat itu. Harapannya, kendala jarak dan waktu yang selama ini menjadi alasan absennya peserta terapi minum ARV bisa ditekan. Dibuat sejak tahun lalu, aplikasi itu ditargetkan rampung tahun 2019.
Eva pun terus bergerak. Dia sudah merasakan hasilnya. Dia terus mempromosikan diri hidup sehat lewat olahraga. Ajang-ajang lari maraton masih ia ikuti. Dia juga tetap menekuni kerja sosialnya mendampingi latihan sepak bola bagi anak-anak jalanan.
Tidak hanya itu, Eva juga berjuang demi tiga anaknya. Tidak ada satu pun yang tertular HIV setelah ikut program pencegahan penularan infeksi HIV pada anak. Secara teknis ada beberapa hal yang sudah ia lakukan selama proses kehamilan dan proses kelahiran. Dia tetap mengonsumsi ARV, melakukan persalinan sesar hingga tidak menyusui pasca-persalinan tidak dilakukan.
”Tidak semua anak ODHA lantas statusnya sama dengan orangtuanya,” katanya.
Namun, pengetahuan itu belum diketahui banyak orang. Stigma masih kerap dilekatkan pada dia dan anak-anaknya. Menurut dia, alasan itu juga yang membuatnya keluar masuk banyak tempat mempromosikan informasi yang benar. Kabar diskriminasi anak dengan HIV/AIDS di Jakarta dan Sumatera Utara baru-baru ini jelas membuat semangatnya semakin menggebu-gebu.
”Semuanya dilakukan demi masa depan anak saya dan generasi penerus lainnya. Mereka harus hidup tanpa stigma,” katanya.
Tidak ada kata telat meski obat yang dapat menyembuhkan itu belum ada. Saat ARV berpotensi membuat HIV tidur panjang, orang yang hidup bersamanya mampu terus bugar menebar kebaikan kepada sesama.