Robot sederhana mirip belalang itu berjalan cepat saat jari Ahmad Sobandi (26) mulai menekan tombol remote sederhana. Dengan jempol kanannya, ia juga leluasa menggerakan robot yang dibuat dari barang bekas itu. Bergerak ke kanan dan kiri hingga memutar bisa dilakukan dengan mudah dan membuat beberapa orang yang ada disana berdecak kagum.
Ditemui di rumahnya di Desa Jatiluhur, Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Ahmad tersenyum semringah melihat robotnya beraksi sempurna. Jempolnya diacungkan bangga.
Robot belalang itu adalah satu dari enam robot buatan Ahmad, penyandang difabel runggu sejak lahir. Jari jemari lulusan SD Luar Biasa ini kreatif menembus batas.
Ayahnya, Arna Sumarna (55) mengatakan, kemampuan Ahmad mekar tujuh tahun lalu. Dia terbiasa membongkar beragam alat elektronik milik orang tuanya.
"Kalau dihitung, sudah ada 10 radio kecil, dan telepon selular. Setelah dibongkar, dia pasang lagi, dan bisa digunakan seperti biasa," kata Arna.
Sejalan waktu, kemampuan Ahmad semakin dalam. Ia melihat pembuatan dan perakitan alat elektronik dari televisi serta daring. Dia bahkan percaya diri membuka usaha jasa reparasi alat elektronik rumahnya mulai tahun 2015.
"Komponen membuat robot juga diambil dari komponen alat-alat elektronik yang biasa dia perbaiki. Kawat tembaga menjadi penyalur tenaga sekaligus rangka, sensor remote bekas televisi hingga lampu mobil-mobilan," katanya. Ahmad percaya diri menanggapi permintaan itu. Dia akan berusaha keras mewujudkan harapan itu meski harus membuatnya dari bahan bekas.
Belajar mandiri di tengah keterbatasan juga jadi kunci Indra Semedi (45) dari Kelompok Kreativitas Difabel Bandung membuat kaki dan tangan palsu. Tak pernah mengeyam pendidikan khusus, ia hanya melihat proses pembuatannya dan mempraktekannya sendiri. Gagal pernah ia rasakan tapi tak cukup menghentikan niatnya.
"Bahannya pernah pakai paralon tapi diganti alumunium yang relatif mudah didapat. Ada sekitar 1.000 kaki dan tangan palsu yang sudah kami buat," kata dia yang mendirikan KKD bersama tiga temannya pada tahun 2010.
Uniknya, buah otodidak itu enggan dimiliki sendiri. Lebih dari 50 persen kaki dan tangan palsu seharga Rp 4 juta - Rp 5 juta itu diberikan gratis bagi difabel tidak mampu. KKD kerap jadi muara terakhir difabel daksa mendapatkan kaki dan tangan palsu.
Indra mengatakan, KKD menerapkan subsidi silang dalam usahanya. Misalnya, satu kaki palsu terjual akan membantu pembiayaan satu unit yang akan diberikan gratis. Namun, kenyataannya metode itu tak selalu berjalan sesuai rencana.
"Sekarang bisa jual 1 untuk subsidi 4 kaki palsu gratis. Memang berat membiayainya tapi sulit bagi kami menolak mereka yang datang tapi tidak punya uang," katanya.
Perbaikan
Tidak hanya difabel mandiri yang diuji. Lembaga pendidikan formal seperti SLB A Kota Bandung juga mendapat tantangan. Tertua di Asia Tenggara, jadi rujukan lembaga penelitian dalam dan luar negeri, hingga punya banyak guru berprestasi tapi hingga kini sulit mengembangkan diri.
Kepala Sekolah SLB A Kota Bandung Wawan mengatakan, proses pendidikan ada di bawah Kementerian Pendidikan dan kebudayaan. Namun, status asetnya dimiliki Kementerian Sosial. Kondisi membingungkan ini membuat pengembangan sekolah tidak bisa dilakukan begitu saja. Saat ini, ada sekitar 100 orang belajar di sana.
"Padahal, kami kekurangan kelas hingga menghadapi ruangan yang nyaris ambruk. Selain itu, semua tempat juga belum dilengkapi lantai pemandu jalan," katanya.
Hal itu juga yang menjadi latar belakang digelarnya acara bertajuk "Harapanku Untuk Presiden" di lapangan SLB A Bandung, Kamis (28/11). Momen ini juga diselenggarakan memeringati Hari Difabel Internasional 2018. Puluhan siswa tampil menujukan bakatnya seolah - olah ada di hadapan Presiden Joko Widodo. Surat-surat berisi harapan status aset sekolah juga ditulis dalam huruf braile.
Sammy Frandy (23), misalnya. Siswa difabel netra kelas XII SMA SLB A ini menyumbangkan suara merdunya lewat lagu "Rumah Kita" yang dipopulerkan God Bless. Panas Bandung siang itu, tak menghalangi pita suara merdunya bergetar.
"Semoga beliau mendengar suara kami. Saya ingin fasilitas sekolah diperbaiki ," kata Sammy.
Dia merasakan benar akibatnya status tanah yang membingungkan. Ruang musik tempatnya berlatih, kini tak layak. Dinding minim peredam itu lembab. Beberapa titik ditumbuhi jamur. Atapnya yang rapuh bisa ambruk kapan saja. Banyak peralatan musik dalam kondisi tak layak.
Bukan suara Sammy saja yang menggema. Di penghujung acara, Wawan, guru-guru, dan puluhan siswa menyanyikan lagu berjudul "Surat Untuk Presiden". Berdurasi 2 menit, syairnya getir tapi tetap bernada optimis. Isinya berharap kepastian status demi suasana belajar lebih baik.
"Kami sudah menyampaikan hal ini pada pemerintah daerah, DPR dan kementerian. Tapi belum ada solusinya. Semoga Pak Presiden bisa membantu kami," ujar Wawan.
Tahun ini, beragam tantangan masih dihadapi kalangan difabel. Tak ingin dikasihani hanya butuh perlakuan yang sama.