Ironi Selembar KTP Elektronik
Kesulitan memperoleh kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-el masih dialami banyak warga, sementara blangko KTP-el ditemukan beredar di pasaran. Ironisnya, ada pula sebagian warga yang dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politik, diberikan KTP-el sampai dua kali agar mendukung salah satu calon kepala daerah.
Ekari Gulo (24), warga Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat, ini harus menanti selama 4 tahun untuk memperoleh KTP-el. Selama itu, dia tak bisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014, serta Pilkada Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bandung Barat 2018 yang berlangsung serentak. Bahkan dia harus berpasrah diri, hilang kesempatan mengikuti pelatihan kerja di Thailand, suatu kesempatan untuk meniti karir lebih baik.
"Karena tidak memiliki KTP-el, saya jadi tidak bisa membuat paspor. Padahal waktu itu saya ingin berangkat ke Thailand untuk urusan pelatihan kerja. Saya sih punya KTP lama tapi sudah tidak berlaku lagi," keluhnya.
Ekari yang bekerja sebagai penerima tamu di sebuah penginapan di Bandung, ini bukannya tak melakukan usaha agar bisa segera memperoleh KTP-el. Malahan hampir setiap minggu dia menyempatkan diri mengunjungi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung Barat menagih KTP-el. Namun yang diperolehnya hanya alasan yang sama, bahwa KTP-el miliknya belum tercetak.
“Alasannya, data yang saya rekam di kecamatan belum masuk ke server pusat. Jadi KTP saya belum bisa dicetak," katanya.
Untuk membuktikan sebagai warga negara yang sah, selama beraktifitas sehari-hari Ekari membawa kartu mahasiswa, dan kartu keluarga. Dia juga mengantongi Surat Keterangan telah melakukan perekaman KTP-el dari Dinas Dukcapil, tetapi itu juga sudah habis masa berlakunya. Sebab surat itu hanya berlaku selama 6 bulan sejak diterbitkan.
Saking putus asanya, pada Kamis (1/11/2018), Ekari memutuskan menempuh jalur belakang agar dia dapat segera memperoleh KTP-el, dengan cara menyuap petugas Disdukcapil Kabupaten Bandung Barat. Uang Rp 150.000 pun dia siapkan sejak berangkat dari rumah menuju kantor Dinas Dukcapil.
Namun niat buruknya itu akhirnya dia urungkan setelah pihak Dinas Dukcapil Kabupaten Bandung Barat menyerahkan KTP-el tanpa pungutan bayaran apa pun. "Akhirnya (KTP-el) jadi juga, dan gratis. Tidak jadi lewat jalur belakang," ucapnya.
Meskipun harus menunggu sampai bertahun-tahun, Ekari tetap mensyukuri akhirnya bisa memperoleh KTP-el. Walaupun selama 4 tahun dia tak bisa menggunakan hak politiknya, dan terhambat untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
"Dulu saya tidak mengerti cara mengurus hak pilih jika tidak punya KTP-el, sehingga tak bisa ikut Pemilu 2014 dan Pilkada 2018. Kalau sekarang kan sudah punya KTP-el, jadi bisa ikut (menggunakan hak politik)," tuturnya.
Sebaliknya Advent (18), rekan Ekari, ini justru mendapatkan dua KTP-el. Warga Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, ini memperoleh KTP-el untuk kedua kalinya pada pertengahan Juni lalu, beberapa hari sebelum Pilkada Bandung Barat dilaksanakan pada 27 Juni 2018.
Padahal Advent mengaku sudah memperoleh KTP-el pada Februari 2018. Kartu identitas itu dia peroleh dua bulan setelah melakukan perekaman data kependudukan pada Desember 2017.
Sementara KTP-el yang diperolehnya kedua kali itu, diakui Advent, diterima dari sekelompok orang yang tak dia kenal. Hal yang mencurigakan, sekelompok orang tersebut kemudian berpesan agar Advent memilih pasangan calon bupati nomor urut tertentu pada Pilkada Bandung Barat. Karena khawatir data kependudukannya disalahgunakan, Advent bersama orangtuanya melaporkan kejadian itu kepada Panitia Pengawas Pemilu setempat.
"Akhirnya ibu saya melaporkan temuan ini ke Panwaslu . Saya juga merasa tidak pernah terlibat dengan kelompok yang mengantarkan KTP-el ini,” jelas Advent.
Bahkan, menurut Advent, dia bukan satu-satunya orang yang memperoleh KTP-el untuk kedua kalinya. Beberapa temannya juga ada yang menerima KTP-el sampai dua kali. “Tidak hanya saya, tetapi beberapa teman saya juga mendapatkan KTP-el sampai dua kali," ujarnya.
Sekelompok orang tersebut kemudian berpesan agar Advent memilih pasangan calon bupati nomor urut tertentu pada Pilkada Bandung Barat
Menurut Advent, KTP-el yang ia peroleh untuk kedua kalinya itu secara kasat mata sama persis dengan KTP-el yang pertama kali ia mililki. “Identitas dan foto diri sama persis dengan KTP asli. Hal yang membedakan hanya ukuran tanda tangan dan tanggal pencetakan KTP el,” jelasnya.
Sejak melaporkan kasus itu, KTP-el kedua yang diperoleh dari sekelompok orang tak dikenal itu dia serahkan kepada Panwaslu Kabupaten Bandung Barat. Namun akhirnya Panwaslu menyatakan tidak ada pelanggaran pemilu dalam kasus ini.
"Barang bukti (KTP-el) sudah kami serahkan ke panwaslu. Namun saya tidak tahu apakah laporan itu diproses atau tidak," ucapnya.
Riyani Sulistiyasari (17), pada Juni 2018 lalu, juga memperoleh KTP-el untuk kedua kalinya dengan diikuti pesan yang sama, yakni diminta memilih paslon nomor urut terentu untuk Pilkada Kabupaten Bandung Barat.
Warga Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, ini mengaku, pada Juni lalu dia diberi tahu tetangganya ada titipan KTP-el di warung dekat rumahnya, dan itu sempat membuatnya kebingungan. Sebab, dua minggu sebelumnya, ia baru saja mengambil KTP-el miliknya di Disdukcapil Kabupaten Bandung Barat.
“Kan bingung ya aku, kan sudah ambil KTP-el, kenapa ada lagi? Aku ambil (saja), takut disalahgunakan,” ujar Riyani, pelajar SMA ini.
Saat mengambil di warung, Riyani mengaku sempat melihat ada dua KTP-el lagi milik orang lain yang dititipkan di warung itu. Menurut pengamatannya, dua KTP-el milik orang lain itu memiliki tampilan dan bentuk tulisan yang nyaris terlihat sama dengan KTP-el miliknya. “Cuma dua KTP-el itu lebih buram tulisanya. Tanda tangannya juga lebih kecil,” katanya.
Baca juga : Jebol, Sistem Pengamanan KTP Elektronik
Peredaran Blangko KTP-el Dorong Kejahatan
Riyani tak melaporkan penerimaan KTP-el untuk kedua kalinya itu ke pihak mana pun. Namun, Susi, ibu Riyani, menaruh curiga terhadap KTP-el tersebut. Susi khawatir jika KTP-el yang diperoleh anaknya untuk kedua kali itu malah membahayakan anaknya. Susi pun berinisiatif membakar KTP-el tersebut.
“Kalau kayak gini, saya jadi ragu data (kita) aman enggak?” ujar Susi bertanya-tanya.
Laporan
Cecep Rahmat, Ketua Bawaslu Kabupaten Bandung Barat (sebelumnya Panwaslu Kabupaten Bandung Barat), mengakui, memang ada laporan terkait KTP-el yang dibagikan untuk kedua kalinya kepada sejumlah warga saat menjelang Pilkada Kabupaten Bandung Barat pada Juni lalu. Laporan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu yang terdiri dari Polres Cimahi dan Kejaksaan Kabupaten Bandung Barat.
"Kami juga mengundang pihak pelapor, terlapor, sejumlah saksi, dan Kepala Dinas Dukcapil Kabupaten Bandung Barat. Terlapor merupakan Paguyuban Badig yang mengedarkan KTP el ini. Namun, dari hasil proses yang kami lakukan, tidak ditemukan adanya pelanggaran pemilu dalam kasus ini,” jelasnya.
Cecep mengatakan tidak adanya pelanggaran pemilu dikarenakan biodata yang ada di KTP-el yang diperoleh Advent kedua kali, itu sama dengan KTP-el yang pertama. Hal itu membuat Advent hanya bisa mencoblos satu kali saat Pilkada Kabupaten Bandung Barat berlangsung pada 27 Juni lalu, karena hak suara hanya dapat digunakan di tempat pemungutan suara sesuai alamat di KTP-el.
"Awalnya kami sempat mengira jika KTP-el yang dibagikan itu data identitasnya berbeda dengan KTP el aslinya. Namun, ternyata data-datanya sama. Jika data tersebut berbeda dapat berpotensi untuk dilakukan dua kali pencoblosan pada masa pemungutan suara," ujarnya.
Menurut Cecep, berdasarkan pengakuan Kepala Disdukcapil, ketika itu memang ada kesalahan dari prosedur pencetakan KTP el. Hal ini yang menyebabkan sebagian warga memperoleh KTP-el sampai dua kali.
Sementara, Ombudsman RI juga memperoleh aduan adanya dugaan penggunaan KTP-el palsu sebagai bukti dukungan terhadap salah satu partai politik agar dapat lolos sebagai peserta Pemilu. Namun oleh Badan Pengawas Pemilu RI, KTP-el itu dinyatakan sah.
Di pasaran, Kompas menemukan blangko KTP-el beredar di Pasar Pramuka Pojok, Jakarta Pusat, dan pasar daring Tokopedia. Tersedianya blangko itu semakin mempermudah pembuatan KTP-el palsu. Seperti ditemukan di Pasar Pramuka Pojok, dengan menggunakan blangko KTP-el asli, sebagian penyedia jasa percetakan di pasar itu dapat membuatkan KTP-el palsu dalam waktu kurang dari 1 jam.
Saat disodorkan selembar KTP-el palsu dan 11 blangko KTP-el yang diperoleh Kompas dari Pasar Pramuka Pojok dan Tokopedia, Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan Misbah menyampaikan, pihaknya tak menyangka blangko identitas penduduk itu bisa beredar di pasaran.
Baca juga : Lika-liku "Pasar Gelap" Dokumen Negara
Diakui, selama ini pihaknya sangat mempercayai KTP-el sebagai bukti valid identitas kependudukan. Oleh karena itu, saat melakukan verifikasi keaslian KTP-el, Bawaslu melaksanakannya sebatas pada pemeriksaan fisik, termasuk terhadap KTP-el yang diajukan sebagai bukti dukungan terhadap calon partai politik peserta pemilu. Sementara pemeriksaan dengan menggunakan card reader khusus KTP-el, itu belum pernah dilakukan.
“Kami hanya memeriksa fisik (KTP-el),” ucapnya.
Namun dengan beredarnya blangko KTP-el di pasaran, Abhan mengatakan, pihaknya akan mulai memeriksa data elektronik yang ada di kartu identitas itu. “Dengan adanya blangko KTP-el (beredar di pasar gelap) ini, kami tentu akan memeriksa data elektronik di dalamnya,” jelasnya.
Upah dipotong
Sementara itu, lambannya pencetakan KTP-el tak hanya ditemukan di Kabupaten Bandung Barat, tetapi juga di Kabupaten Bogor. Teten Yuliadi (41), warga Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, tak habis pikir kenapa proses pencetakan memakan waktu begitu lama. Sejak September 2016, KTP-el-nya tak kunjung tercetak.
Selama dua tahun lebih, Teten bersama istri serta putrinya hanya memegang surat keterangan telah menjalankan perekaman data penduduk yang harus diperbaharui enam bulan sekali. Hingga saat ini, mereka sudah bolak-balik tiga kali ke kantor kecamatan untuk memperbaharui surat keterangan tersebut. “Saya dan istri sampai cuti karena di kantor kecamatan ngantre dari pagi sampai sore,” ujar ayah dua anak itu.
Sehari-hari, Teten dan istrinya bekerja sebagai buruh pabrik di Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Setiap kali cuti karena harus mengurus KTP-el, sang istri harus merelakan upahnya dipotong sebesar Rp 300.000. Totalnya sudah Rp 900.000 upahnya dipotong akibat mengurus KTP-el di kecamatan selama 2 tahun terakhir. Padahal Teten mengaku, upah yang diperoleh istrinya setiap bulan hanya Rp 2,6 juta, dan itu tanpa dipotong cuti.
Teten mengutarakan, setiap ke kantor kecamatan, ia selalu bertanya alasan lambannya proses pencetakan KTP el milik keluarganya. Jawabannya selalu sama, “Tunggu saja, nanti juga sampai,” tuturnya menirukan jawaban petugas kantor kecamatan.
Hanya yang membuat heran, menurut Teten, ia pernah dimintai tolong kawannya mengurus KTP el. Dengan bantuan seseorang di salah satu desa di Kecamatan Gunung Putri, KTP-el untuk kawannya itu bisa diperoleh dengan membayar imbalan Rp 500.000. “Setelah bayar, besok sorenya kawan saya sudah memperoleh KTP-el,” kata Teten.
Dengan kemampuan yang terbatas, Teten mengaku, dia dan istrinya hanya bisa berpasrah diri agar KTP-el miliknya dapat segera diterbitkan oleh pemerintah kabupaten setempat. “Jangan lah warga ini nungguin terus seolah-olah kita dipermainkan,” ucap Teten dengan nada kesal.
Anggota Ombudsman RI Ahmad Suaedy menyampaikan, sampai saat ini memang masih ditemukan warga yang harus menunggu lama untuk memperoleh KTP-el. Dari beberapa laporan dan temuan Ombudsman di lapangan, itu disebabkan oleh birokrasi di daerah yang lambat dalam memberikan pelayanan, terutama KTP-el. “Ini karena birokrasi di daerah,” ucapnya.
KTP-el merupakan keniscayaan untuk dimiliki setiap warga negara. Bukan hanya menjadi sarana untuk mengakses kebutuhan ekonomi, tetapi juga akses memenuhi hak politik. Negara sudah semestinya hadir menjamin setiap warga negara dapat memperoleh KTP-el ini dengan waktu yang dapat diprediksi. Bukan sebaliknya, warga menunggu tanpa kepastian memperoleh KTP-el. Sementara di luar sana, blangko KTP-el beredar di pasaran.