Jembatan Diplomasi Peranakan Tionghoa
Kekayaan budaya peranakan Tionghoa yang mengakar dan tersebar di dunia bisa menjadi sarana strategi diplomasi Indonesia yang efektif. Namun, hal itu selama ini belum dimanfaatkan.
Jumlah terbesar orang berdarah Tionghoa yang hidup di luar China, Taiwan, Hong Kong, dan Makau terdapat di Indonesia. Dari Indonesia, komunitas Tionghoa Peranakan yang berdarah campuran Tionghoa dan berbagai suku di Nusantara sejak sebelum zaman Sriwijaya selanjutnya hidup menyebar, tidak saja di wilayah kepulauan Nusantara, tetapi juga di sejumlah benua.
Dalam Konferensi Peranakan Internasional Ke-31 di Kota Tangerang, Lasem, Semarang, dan Yogyakarta, pada 23-28 November 2018, komunitas Tionghoa Peranakan asal Indonesia yang juga tersebar di Australia, Belanda, dan Benua Amerika berkumpul bersama peranakan Tionghoa Malaysia, Singapura, Thailand, dan Peranakan Chitty- India Malaka yang tinggal di Singapura.
Acara itu penuh agenda budaya dan seminar, dengan mengedepankan identitas akulturasi, yakni kebaya, batik pesisir yang penuh pengaruh peranakan Tionghoa, terutama dari Pulau Jawa, musik gambang kromong yang juga perpaduan instrumen Tionghoa dan Nusantara, serta diisi kunjungan ke kota tua Lasem, Rembang, dan Semarang di Jawa Tengah.
Kegiatan ditutup dengan berkunjung ke Keraton Yogyakarta dan bertemu Sultan Hamengku Buwono X dengan busana batik dan kebaya, sejalan upaya Keraton Yogyakarta mengangkat identitas budaya peranakan Tionghoa di Kampung Ketandan.
Kebudayaan peranakan Tionghoa merupakan salah satu mozaik kekayaan Nusantara yang menempatkan Pulau Jawa sebagai pusat gravitasi. Guru Besar Universitas Sorbonne Denys Lombard menyebut itu dengan istilah ”Nusantara silang budaya (carrefour de civilization)”.
Kebudayaan hasil perkawinan campur dan percampuran budaya itu merupakan bukti keluhuran budaya Nusantara yang mampu melebur berbagai elemen masyarakat dan budaya, termasuk masyarakat Tionghoa. Perjalanan masyarakat Tionghoa peranakan melebur ke dalam budaya campuran semasa awal kemerdekaan Indonesia, misalnya, menurut catatan Muhammad Yamin, terlihat dari para petani peranakan Tionghoa di Tangerang yang memiliki penghidupan dan ciri fisik mirip anak negeri yang lainnya.
Peneliti muda Nahdlatul Ulama, Munawir Azis, dalam bukunya, Gus Dur dan Jaringan Tionghoa Nusantara, secara gamblang menjelaskan percampuran darah dan budaya masyarakat Tionghoa di Nusantara.
Menurut Munawir, yang juga menulis buku Pahlawan Santri, perantau Tionghoa, yang kemudian kawin campur dengan perempuan asal Nusantara dan beranak-pinak, datang dalam berbagai gelombang pada masa kerajaan Nusantara, masa kedatangan Eropa di Asia, dan masa penjajahan Belanda di Nusantara. Hubungan itu sebetulnya sudah terjalin sejak zaman Dinasti Han atau pada awal abad Masehi.
Ketua Panitia Konferensi Peranakan, Udaya Halim, yang juga pendiri Museum Benteng Heritage di Tangerang, menceritakan, keberadaan masyarakat Tionghoa peranakan—yang akrab disebut Cina Benteng—sudah bermukim di wilayah Tangerang sejak sebelum kedatangan bangsa Eropa. ”Setidaknya sejak zaman Zheng He (sekitar 1400) sudah ada pemukim Tionghoa di Tangerang. Itu sebabnya ada wilayah bernama Teluk Naga yang jadi tempat kedatangan kapal-kapal dari Tiongkok,” ujarnya.
Penulis Daradjadi, yang menulis buku sejarah Geger Pacinan 1740-1743 Perseketuan Tionghoa- Jawa Melawan VOC (2013), mengingatkan, hubungan erat itu dirusak oleh kolonialisme Barat yang nyaris dikalahkan koalisi laskar Tionghoa dan Jawa. Karena kekalahan masyarakat Jawa- Tionghoa, lalu Belanda menerapkan pemisahan hunian dan kebijakan segregasi rasial yang makin tajam, abad ke-19 dan ke-20.
Semasa Perang Geger Pacinan itu, perjuangan dan persaudaraan sebetulnya sedemikian erat. Ini terlihat dari kepemimpinan Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning yang dibantu tangan kanan Kapitan Cina, Sepanjang. Sepanjang pun dibantu dua panglima kepercayaan, yakni Pangeran Mangkubumi (kelak Hamengkubuwono I) dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa (kelak menjadi KGPA Mangkunegoro I).
Bahkan, ada panglima perempuan, yakni RA Tan Peng Nio, yang menikah dengan Tumenggung Kolopaking. Keluarga Kolopaking adalah trah bangsawan penguasa wilayah Banyumas.
Sejarah ditulis pihak yang menang, yakni Belanda. Hubungan Jawa-Tionghoa pun dipisah paksa. Padahal, dalam uraian Daradjadi dijelaskan, pengaruh budaya Tionghoa melebur dengan alami dalam berbagai sendi kehidupan, dari kuliner hingga teknologi perumahan dan busana.
Dalam buku Menjadi Jawa, Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895- 1998 karya Rustopo (2007) diungkapkan, betapa berbagai budaya populer modern, seperti wayang orang dan pentas komedi Srimulat, pun dikembangkan kalangan peranakan Tionghoa.
Wayang orang yang semula budaya elite di keraton, diboyong ke masyarakat pada dekade 1890-an oleh Gam Kam, sahabat Mangkunegara V, dan pada masa awal Indonesia merdeka oleh Teguh Slamet Rahardjo (Kho Djien Tiong) yang menggagas kelompok Srimulat dan melahirkan berbagai aktor dan aktris panggung terkenal hingga milenia ketiga.
Berbagai bentuk akulturasi budaya dari penganan hingga batik kebaya dan segala urusan kehidupan-kematian tumbuh berkembang bersama masyarakat peranakan Tionghoa.
Mengalami berbagai guncangan politik pada awal kemerdekaan dan semasa Orba (1966-1998), banyak elemen masyarakat peranakan Tionghoa yang bermigrasi ke sejumlah negara, seperti Belanda, Singapura, Australia, dan Amerika. Sejatinya, masyarakat peranakan Tionghoa bukan liyan, melainkan bagian dari peleburan budaya dalam sejarah peradaban lintas milenia di Nusantara.
Magnet pariwisata
Pada saat bersamaan, peranakan Tionghoa di Malaysia, seperti di Melaka dan Penang, didorong Pemerintah Malaysia menjadi salah satu ikon kekayaan budaya dan magnet pariwisata. Wilayah Penang dan Melaka pun dijadikan cagar budaya UNESCO. Padahal, salah satu identitas budaya peranakan di sana adalah batik dan kebaya yang berasal dari Indonesia. Malaysia pun menangguk rezeki dari kekayaan budaya itu, dan semakin dikenal dunia sebagai melting pot kebudayaan.
Pada saat Indonesia memasuki era reformasi yang menjunjung kesetaraan-keberagaman, keberadaan peranakan Tionghoa yang mengakar ribuan tahun dan menyebar di berbagai penjuru dunia tentu bisa jadi alat penting dalam strategi diplomasi Indonesia. Hal itu terlebih kekayaan perpaduan budaya itu bisa jadi jembatan budaya dengan Tiongkok dan sesama Asia yang sedang bangkit untuk memberikan pesan kuat bahwa Indonesia adalah tempat persilangan budaya ribuan tahun yang hidup damai-harmoni sesama bangsa Asia sebagai bagian dari peradaban tua di dunia.