JAKARTA, KOMPAS—Feodalisme, birokrasi yang tidak ramah, dan aturan-aturan yang merugikan rakyat jelata adalah penjajahan dalam bentuk yang seolah-olah sopan. Begitu pula fanatisme buta pada satu organisasi massa atau partai politik tanpa rasa toleransi kepada kelompok lain. Hal-hal seperti ini seharusnya tidak terjadi pada alam kemerdekaan.
Penyair Madura, D. Zawawi Imron menyampaikan gagasan ini dalam Pidato Kebudayaannya berjudul "Akal Sehat Kolektif sebagai Sumber Kreativitas dan Toleransi" pada hari ketiga Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018 di Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Jumat (7/12/2018).
"Merdeka yang sejati itu hakikatnya harus dimulai dari jiwa masing-masing individu. Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang terbebas dari aneka ketakutan, kekhawatiran, intimidasi, bahkan dari kesombongan, belenggu tradisi dan warisan budaya yang tidak menghormati kehidupan dan kebudayaan," ucapnya.
Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang terbebas dari aneka ketakutan, kekhawatiran, intimidasi, bahkan dari kesombongan, belenggu tradisi dan warisan budaya yang tidak menghormati kehidupan dan kebudayaan.
Menurut Zawawi, kemerdekaan sejati adalah kemauan menempatkan seluruh manusia pada harkatnya yang mulia. Dengan demikian, istilah merdeka tidak semata-mata dimaknai sebagai terbebas dari penjajahan. Sebab, di alam kemerdekaan masih ada banyak orang yang belum bisa menikmati kemerdekaan sejati, dihantui oknum-oknum yang mengancam kesejahteraan rakyat dengan melakukan korupsi, pembalakan liar, ketidakadilan, kerusuhan, dan adu domba.
Ruang Kebebasan Berekspresi
Zawawi berkata, di alam kemerdekaan, para seniman dan budayawan semestinya diberi kebebasan yang seluas-luasnya dalam berkreasi dan berekspresi, untuk mewakili diri dan bangsanya dalam melahirkan karya-karya besar. Karena itu, pemasungan karya tidak boleh terjadi di alam kemerdekaan. Kalaupun ada perbedaan pilihan dan aspirasi, itu adalah variasi yang bisa memperkaya cakrawala dalam kehidupan.
Sembari mendaraskan pidato dengan berapi-api, Zawawi beberapa kali menyelipkan puisi. "Sudah saatnya kita mengembangkan kasih sayang kepada seluruh umat. Kita perlu sadar bahwa kita semua adalah putra ibu pertiwi...Ibu, kalau aku merantau lalu datang musim kemarau. Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting. Hanya mata airmu ibu, yang tetap lancar mengalir. Bila aku merantau, sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku. Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kehidupan, lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar," darasnya.
Zawawi mengajak publik untuk menghidupi bahasa agama yang konkret, yaitu tindak tanduk dan perbuatan. Kasih sayang Allah yang selalu dikumandangkan perlu dilanjutkan dengan terjemahannya dalam bahasa yang nyata, yaitu bahasa perbuatan.
"Adagium Tanah Bugis berbunyi, akininnawa patujukko mamadecceng kalawing ate, yang maksudnya: berpikirlah kamu dengan hati yang jernih, kemuliaan akan menyelimuti hatimu. Hati yang diselimuti oleh kemuliaan dan kebaikan tidak ada ruang di dalamnya niat buruk untuk membenci dan mencelakakan orang, tak ada waktu untuk mengajarkan kebencian dan permusuhan serta adu domba," ucapnya.
Karena itu, agama yang punya hakikat ruh seperti itu tidak akan melakukan kekerasan dan pemasungan pada hasil kreatif orang lain. Bahkan, agama dengan substansi kasih sayang bisa memberi inspirasi bagi seniman-seniman kreatif.
Di ujung pidato, Zawawi mengajak siapa pun untuk berani berkomitmen menyelaraskan antara kata dan perbuatan melalui puisinya yang berjudul Telur: "Dubur ayam yang mengeluarkan telur lebih mulia dari mulut intelektual yang hanya menjanjikan telur," ucapnya.
Jaminan perlindungan bagi masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya turut menjadi salah satu agenda strategis yang dirumuskan dalam KKI 2018. "Kalau kebudayaan tidak ada ruang ekspresi yang terlindungi pasti akan susah. Jaminan adanya ruang dan interaksi budaya sangat penting kalau kita mau merawat kebinekaan," kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid.
Selain perlindungan terhadap nilai, ekspresi, dan praktik kebudayaan tradisional, agenda strategis lain yang disiapkan adalah memperkuat kedudukan dan memberdayakan lembaga, komunitas serta masyarakat tradisional.