Komitmen Korea Utara terhadap perdamaian dunia terus diperbincangkan secara serius. Apa kontribusi negara itu terhadap upaya menciptakan ketertiban dan stabilitas keamanan Asia dan global? Gugatan itu terdengar semakin nyaring, lebih-lebih setelah tersiar berita pada pertengahan November lalu tentang uji coba senjata taktis modern Korut. Tahun lalu, dunia dihebohkan oleh uji coba rudal balistik negara itu.
Berbagai kalangan dibuat terperangah karena uji coba senjata taktis modern Korut awal bulan lalu dikhawatirkan akan menghancurkan asa terhadap prakarsa denuklirisasi di Semenanjung Korea yang sedang dirintis.
Harapan denuklirisasi mulai mengembang setelah pertemuan puncak Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un, Juni lalu di Singapura. Muncul kekhawatiran, uji coba senjata taktis modern Korut pada awal November membuat upaya perlucutan senjata nuklir kembali menjadi tidak menentu di Semenanjung Korea.
Tanpa bermaksud mengesampingkan berbagai sumbangsih Korut kepada dunia, sejauh ini Korut dipandang tak berkontribusi terhadap ketertiban dan perdamaian kawasan dan dunia. Sebaliknya, Korut dinilai menciptakan ketegangan, kegalauan, dan kengerian dengan program senjata nuklirnya.
Tentu ada yang berpendapat tak adil jika hanya program senjata nuklir Korut yang dikecam dan dituntut untuk dihentikan, sementara banyak negara, termasuk negara maju, dibiarkan leluasa mengembangkan persenjataan pemusnah massal itu. Namun, banyak pengamat, seperti sering disinggung, menilai program senjata nuklir Korut relatif mengandung kerawanan sangat tinggi, lebih-lebih dilihat dari postur dan kemampuan negara itu secara keseluruhan. Apa pun itu, perlu disadari, senjata nuklir sangat berbahaya.
Segera terbayang, senjata yang sangat berbahaya itu akan jauh lebih berbahaya dan mengerikan jika berada dalam kontrol orang atau penguasa yang reputasi, kredibilitas, dan level tanggung jawabnya masih diragukan dan dipertanyakan. Jangankan di negara yang memiliki perkembangan teknologi masih rendah, program senjata nuklir di negara teknologi maju pun tidak terlepas dari risiko bencana, antara lain akibat kelelahan teknologi atau keteledoran manusia.
Idealnya dunia dibebaskan dari bayangan kengerian bahaya senjata nuklir, yang berpotensi mencelakakan manusia dan alam oleh daya ledak luar biasa serta kekuatan destruktif radiasi dengan dampak berkepanjangan.
Terus bergumam
Tak sedikit pengamat bergumam, mengapa penguasa Korut lebih mengutamakan pengembangan senjata pemusnah massal nuklir yang menguras tenaga, dana, dan sumber daya ketimbang mendorong pembangunan untuk menggapai kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya.
Berbagai pemberitaan media internasional menyingkap, jutaan anak Korut menderita kekurangan gizi akut. Tidak sedikit warga terancam bencana kelaparan setiap tahun. Kondisi umum Korut tampak kontras dengan kemajuan ekonomi Korea Selatan, yang terpecah sejak perang tahun 1951-1953.
Perbedaan kemajuan yang begitu mencolok menjadi perbincangan di mana-mana, termasuk di Indonesia. Secara khusus pula, belakangan, warga Indonesia terusik dengan kasus warga negara Indonesia, Siti Aisyah, yang didakwa terlibat dalam pembunuhan Kim Jong Nam, kakak tiri Pemimpin Korut Kim Jong Un, Februari 2017 di Malaysia.
Muncul banyak spekulasi tentang kematian Jong Nam, apakah kriminal murni atau bagian dari operasi intelijen Korut. Apa pun, Siti diancam hukuman mati. Masyarakat Indonesia sedang menanti hasil akhir proses hukum atas diri Siti itu.
Terlepas dari kasus Siti, Indonesia bersama negara-negara lain berinteraksi dengan Korut dalam ruang pergaulan internasional. Suka atau tidak, citra yang kurang positif dalam bidang ekonomi, ditambah dengan sensitivitas atas isu senjata nuklir dan sistem kekuasaan yang tertutup, membuat ruang pergaulan Korut di panggung internasional menjadi terbatas dan sempit.
Bahkan, terdengar suara di sejumlah negara, tidak terkecuali di Indonesia, apa gunanya menjalin hubungan dan kerja sama dengan negara yang penuh dengan teka-teki yang terkunci rapat di balik sistem kekuasaannya yang sangat tertutup itu.
Bermunculan pula gagasan liar yang menganjurkan agar menjaga jarak dan membatasi kerja sama sampai tingkat paling minimum dengan Korut. Tentu berbagai gagasan itu perlu dipilah antara yang rasional dan emosional. Jangan pula Korut terlalu dipojokkan. Bukan tak mungkin, perasaan tersudutkan justru memicu sikap agresif lebih tinggi.
Tarik-menarik kepentingan di panggung kawasan dan global membuat kedekatan hubungan dan kerja sama dengan Korut mengandung sensitivitas tersendiri. Tak jarang, kedekatan hubungan dengan Korut cenderung menimbulkan prasangka negatif sejumlah negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai implikasi dan komplikasi atas kecemasan terhadap program senjata nuklir Korut, yang telah menciptakan ketegangan dan kecemasan di kawasan Asia dan global.
Sekiranya Korut tidak dipersepsikan sebagai sumber ancaman stabilitas keamanan dan perdamaian kawasan dan global, negara di Semenanjung Korea itu dipastikan tidak akan mendapat sorotan negatif. Korut akan makin disegani dan dihormati jika bisa menggapai kemajuan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat serta berkontribusi positif bagi ketertiban dan perdamaian dunia.