Menjaga Tradisi ”Bedolan Pamarayan”
Warga bergembira mencari ikan beramai-ramai saat ”bedolan pamarayan” di Panyabrangan, Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang, Banten. Tak peduli harus berlumur lumpur, mereka datang memeriahkan tradisi yang berlangsung sejak masa kolonial tersebut.
Warga seketika berduyun-duyun meloncat ke dalam lumpur tebal saat bedolan pamarayan dibuka, Sabtu (13/10/2018) pukul 09.00. Mereka menebar jaring, menangkap ikan dengan tangan, dan menggunakan rakit bambu. Gundukan-gundukan lumpur tampak jelas seiring berkurangnya air di Bendungan Pamarayan.
Di bendungan itu, air tak sepenuhnya surut. Di salah satu sisi Bendungan Pamarayan, Sungai Ciujung masih mengalir. Masyarakat yang tak mencari ikan berkerumun di bantaran sungai itu. Hingga siang, pengunjung terus mendatangi bendungan.
Banyaknya mobil dan sepeda motor yang melaju menyebabkan kepadatan lalu lintas meski puluhan kendaraan masih bergerak dengan pelan. Kapal penyedot lumpur dan backhoe amfibi tetap mengeruk lumpur.
Madroi (56), warga setempat, terjun ke Bendungan Pamarayan mulai pukul 10.00. Dia susah payah melangkahkan kakinya yang terbenam dalam air keruh. Madroi bahkan tak jarang merayap karena sulitnya mengangkat kaki dari lumpur yang tebal itu.
Begitu terlihat ikan bermain di permukaan air, Madroi langsung menghampiri dan menjangkaunya dengan jala bertangkai kayu. Saat merasakan ikan-ikan berenang di sela-sela kaki, Madroi berusaha menangkap dengan jala ataupun tangan.
Hampir sekujur tubuh warga yang hadir berlepotan lumpur. Hampir sekitar 1,5 jam mereka terlibat dalam tradisi menangkap ikan secara alami itu.
Madroi yang hobi memancing itu mendapatkan ikan nila, tawes, dan gabus 2 kilogram (kg). Ada juga jenis ikan lain dalam bendungan itu. ”Ada mas, gurami, dan lele, tetapi saya tidak dapat. Saya juga dapat udang, tetapi kecil. Saya tidak ambil,” katanya.
Ratusan tahun
Madroi mengatakan, acara ini digelar sejak ratusan tahun silam. Setiap kali acara ini digelar dirinya tidak pernah alpa. Apalagi lokasi acaranya hanya 2 kilometer dari rumahnya. ”Bedolan pamarayan sudah diadakan sejak saya kecil. Saya ikut karena mau cari ikan dan menonton hiburan,” ujarnya.
Pertunjukan wayang golek, musik, rampak beduk, serta pameran usaha mikro kecil dan menengah membuat suasana makin meriah. ”Itu yang membuat kegiatan tahun ini lebih bagus,” ujarnya.
Senada dengan Madroi, Mustalim (34) pun senang dengan acara tradisi masyarakat Serang ini. Mustalim mencari ikan mulai pukul 09.00. Ikan-ikan yang mabuk dan mengambil napas di permukaan air langsung diraih dengan jaring. Mustalim mendapatkan 6 kg ikan nila, baung, dan gabus. Tangkapan itu meningkat dibandingkan tahun lalu atau hanya 2 kg.
”Sebetulnya bukan soal jumlah ikan yang ditangkap, tetapi soal tradisi sehingga berapa pun jumlahnya kami tetap puas,” ujarnya.
Warga Desa Palanyar, Kecamatan Pamarayan, Kabupaten Serang, itu mencari ikan hingga pukul 12.30.
Wakil Bupati Serang Pandji Tirtayasa mengatakan, bedolan pamarayan dilaksanakan sejak masa kolonial Belanda. Berdasarkan arsip yang disimpan di gedung kontrol Bendungan Pamarayan, bangunan tersebut mulai beroperasi pada tahun 1918. Sejak itu, bedolan pamarayan diadakan setiap tahun.
Bangunan itu lalu digantikan Bendungan Pamarayan baru dengan jarak sekitar 1 kilometer yang mulai beroperasi tahun 1997. Pelaksanaan bedolan pamarayan dilanjutkan di bendungan baru. Sementara Bendungan Pamarayan lama menjadi bangunan cagar budaya.
Bedolan pamarayan diadakan untuk merayakan hari jadi Kabupaten Serang yang berdiri sejak 8 Oktober 1526. Selain itu, menurut Pandji, bedolan pamarayan dilaksanakan bersamaan dengan musim kemarau. Bendungan Pamarayan dikosongkan untuk pemeliharaan.
”Lumpur disedot dan pemeliharaan jaringan dilakukan supaya siap saat musim hujan. Masyarakat memanfaatkan momentum itu sebagai pesta rakyat mengambil ikan,” ujar Pandji.
Sejak tahun 2017, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serang mengemas kegiatan itu menjadi agenda pariwisata dengan nama Festival Bedolan Pamarayan. Tahun ini Festival Bedolan Pamarayan dilaksanakan pada 11-14 Oktober.
”Bedolan pamarayan itu kearifan lokal yang kami jadikan agenda pariwisata. Sejak dulu pula, seni tradisi dipanggungkan ketika bedolan pamarayan berlangsung,” ujarnya. Kesenian itu antara lain silat kaserangan, debus, angklung, patingtung, dan calung.
Tak hanya warga Serang yang ikut, tetapi juga warga Pandeglang, Lebak, Tangerang, bahkan Bandung, Jawa Barat dan Bandar Lampung, Lampung. ”Pada masanya, Pamarayan menjadi bendungan terbesar di Indonesia sebelum Saguling, Cirata, dan Jatiluhur dibangun,” ujarnya.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Serang Tahyudin mengatakan, bedolan pamarayan tahun ini dihadiri sekitar 50.000 orang. Animo masyarakat untuk mengikuti bedolan pamarayan semakin besar. Tahun 2017, jumlah pengunjung sekitar 40.000 orang.
Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Bendungan Pamarayan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Serang Hermanto, luas Bendungan
Pamarayan sekitar 40 hektar. Bendungan itu mengairi 21.350 hektar sawah di Serang.
”Bedolan pamarayan jika diartikan secara bebas dari bahasa Sunda adalah mengeringkan bendungan tersebut,” ujar Hermanto.
Setelah air bendungan surut, terlihat gundukan-gundukan lumpur yang tebal sehingga pengerukan sedimentasi lebih mudah dilakukan. Saat itulah ikan-ikan ditangkapi.