Menyambut Asa di Lahan Gambut
Y a, mengembangkan desa. Kalau bukan kita, siapa lagi?” jawab Teguh Santoso (22) saat ditanya harapannya setelah kembali ke kampung halaman di Desa Bumi Agung, Kecamatan Lalan, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, selepas lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang.
Ia bersama sejumlah pemuda lain bertekad meningkatkan ekonomi masyarakat dengan mengembangkan produk olahan dari tanaman ramah gambut yang tumbuh di daerah itu secara berkelanjutan.
Pengelolaan lahan gambut memang tidak mudah. Bagi sebagian orang, membakar lahan gambut adalah cara praktis untuk membuka lahan. Selain tidak perlu membersihkan lahan, sisa pembakaran bisa menghasilkan unsur hara untuk meningkatkan kesuburan tanah. Namun, cara itu bukan merupakan pilihan. Risiko kebakaran hebat bisa terjadi ketika lahan gambut menjadi kering, terutama pada musim kemarau. Kondisi itu pernah terjadi pada 2015, lebih dari 2 juta hektar hutan dan lahan terbakar, termasuk lahan gambut.
Belajar dari peristiwa tersebut, Teguh berupaya memaksimalkan potensi sumber daya alam yang tumbuh di lahan gambut tanpa harus membakar. Berbagai inovasi pun dilakukan. Akhirnya, melalui dukungan dari Badan Restorasi Gambut (BRG), Teguh bersama 9 petani muda lain di 10 desa di Sumatera Selatan mendapat kesempatan belajar dengan Javara, sekolah seniman pangan, pada Agustus 2018.
Dinamisator Desa Peduli Gambut Sumatera Selatan, BRG Dd Shineba, menuturkan, para petani muda yang terpilih dalam program seniman pangan mendapatkan pembelajaran tentang cara pengolahan pangan berbahan dasar pangan lokal. ”Mereka diajarkan cara mengolah sumber pangan lokal agar memiliki nilai tambah. Secara bertahap, kami bantu juga untuk pemasarannya,” ujarnya.
Saat ini sejumlah produk unggulan sudah dihasilkan. Produk tersebut meliputi, antara lain, keripik kelapa rasa sambal nanas khas Sumatera Selatan, selai nanas kelapa, sambal nanas tabur, sambal tempoyak tabur, kopi liberica, dan beras gambut. Produk-produk itu dipamerkan dalam perhelatan Asian Games 2018 di Palembang, Sumatera Selatan, beberapa waktu lalu.
Muhammad Ramli (34), petani muda asal Desa Karang Mukti, Kecamatan Lalan, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan yang juga berkesempatan mendapatkan pelatihan tersebut terus berupaya meningkatkan produksi pangan olahannya. Ia lebih fokus menghasilkan keripik kelapa rasa sambal nanas.
“Di sini kelapa sangat banyak, bahkan sering dibuang-buang. Harganya juga kalau dijual sangat murah, bisa hanya Rp 800 per biji. Kalau dijadikan keripik, 8 kelapa bisa jadi 40 kemasan. Satu kemasan dihargai Rp 17.000 sampai Rp 20.000,” ujarnya.
Memberdayakan masyarakat
Selain menghasilkan nilai tambah, inovasi produk olahan pangan lokal ini turut memberdayakan masyarakat sekitar. Itulah yang berhasil dilakukan oleh Miana Anggraini (35). Ia telah melibatkan 15 orang ibu-ibu di desanya untuk bergabung dalam kelompok karya bersama untuk mengolah berbagai produk olahan.
Setiap minggu, ia berkumpul bersama anggota kelompok untuk memproduksi hasil olahan kelapa dan nanas yang memang banyak tumbuh di lahan gambut di lingkungannya. Kelapa dan nanas termasuk tumbuhan yang tidak merusak ekosistem gambut sehingga baik untuk dibudidayakan di lahan gambut.
“Asian Games kemarin, kami berhasil produksi sekitar 400 kemasan keripik kelapa dan 100 botol sambal nanas. Lumayan untuk tambahan pendapatan rumah tangga,” kata Miana.
Sementara Teguh memberdayakan masyarakat melalui peran karang taruna di desanya. Ia sengaja mengajak anak muda untuk turut mengelola produk olahan agar keberlanjutannya bisa lebih terjamin. Beberapa lahan budidaya pun dikelola oleh para pemuda.
“Anak muda jadi tahu, ada alternatif yang baik selain menanam sawit di lahan gambut. Selain itu, hasilnya juga memuaskan dengan mengelola lahan gambut dengan baik,” ucapnya.
Anak muda jadi tahu, ada alternatif yang baik selain menanam sawit di lahan gambut. Selain itu, hasilnya juga memuaskan dengan mengelola lahan gambut dengan baik.
Untuk sementara, berbagai produk yang dihasilkan oleh para seniman pangan ini diproduksi berdasarkan permintaan saja. Pemasarannya pun masih dibantu oleh pihak BRG. Dd Shineba mengatakan, produk dari petani di Sumatera Selatan baru dipasarkan melalui pameran-pameran.
Meski demikian, rencananya produk tersebut akan dipamerkan pada Konferensi Iklim Pertemuan Para Pihak (COP) Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) tahun depan sebagai produk percontohan yang dihasilkan di lahan gambut.
Listrik terbatas
Ramli berharap, produksi produk olahan ini bisa semakin meningkat. Namun, berbagai kendala masih dijumpai, terutama masalah ketersediaan listrik yang terbatas. Di desanya, listrik hanya bisa diakses pada pukul 18.00 sampai 6.00 pagi keesokan harinya. Selepas jam itu, listrik padam.
“Padahal, proses mengeringkan kelapa butuh bantuan dari mesin khusus yang butuh bantuan listrik. Kalau pakai genset enggak kuat (aliran listrik),” ujarnya.
Bahkan, di desa tempat tinggal Miana, listrik bisa padam selama dua hari penuh. Kendala ini tentu tidak mendukung optimalisasi produksi produk olahan dan menghambat pengiriman pesanan.
Selain listrik, masalah lain yang dihadapi adalah kendala jaringan telepon. Pengalaman Teguh, ia harus pergi ke dermaga di kampungnya untuk medapatkan sinyal jaringan seluler. Itu pun tidak semua penyedia jaringan seluler bisa diakses. “Bagaimana bisa merambah ke penjualan online. Saya harap pemerintah bisa membantu,” ucapnya.
Meski berbagai kendala masih dijumpai, semangat dan motivasi para pemuda seniman pangan di Kabupaten Musi Banyuasin itu tidak luruh. Mereka terus berupaya mencari cara agar kesejahteraan masyarakat di desa mereka di area sekitar restorasi gambut bisa meningkat. Cita-cita mereka sederhana, masyarakat dan petani bisa berdaya, gambut pun tetap terjaga.