Perguruan Tinggi Siapkan Lulusan yang Siap Kerja dan Mandiri
Ekosistem perguruan tinggi harus mampu merespon industri 4.0. Dengan demikian, diharapkan tidak hanya menghasilkan lulusan yang siap kerja, tetapi juga mandiri.
JAKARTA, KOMPAS - Kebutuhan tenaga kerja terdidik yang berkualitas dan terampil dibutuhkan bangsa ini untuk membuat bonus demografi menjadi berkah bagi kemajuan Indonesia. Peran dunia pendidikan menjadi penting untuk menyiapkan lulusan yang mampu mengisi kebutuhan tenaga profesional yang dibutuhkan maupun sebagai wirausaha.
Saat ini, baru 12,17 persen tenaga kerja dari lulusan perguruan tinggi. Karena itu, penting untuk memperbanyak lulusan pendidikan tinggi berkualitas yang diarahkan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. "Lulusan perguruan tinggi harus terserap ke dunia kerja atau pun menjadi wirausaha," kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, di Jakarta, Jumat (7/12/2018).
Data Kamar Dagang dan Industri menunjukkan bahwa tahun 2018 terdapat 2,8 juta lapangan kerja. Angka ini di atas proyeksi pemerintah sebesar 2,6 juta lapangan kerja. Namun, hanya 2,4 juta tenaga kerja yang terserap dari jumlah lapangan kerja yang tersedia. Hal ini disebabkan sebagian tenaga kerja Indonesia belum memiliki kompetensi yang sesuai maupun keahlian yang dibutuhkan dunia Industri.
Dalam Forum Diskusi Merdeka Barat 9 yang digelar berbagai daerah, Nasir menjelaskan beberapa strategi dalam mencetak lulusan berkualitas yang selaras dengan kebutuhan dunia usaha.
Pertama, dengan membangun ekosistem perguruan tinggi yang mampu merespon industri 4.0. Kedua, melakukan reorientasi kurikulum yang mampu merespon perkembangan teknologi digital dan robot yang pesat untuk mencetak lulusan yang memiliki kompetensi pengetahuan dan teknologi digital, kompetensi sosial dan belajar sepanjang hayat atau lifelong learning.
"Salah satunya dilakukan melalui peningkatan pendidikan di bidang Science, Technology, Engineering, Mathematics atau STEM," kata Nasir.
Hal lainnya, lanjut Nasir, melaksanakan pertukaran mahasiswa dan magang. Selain itu, meningkatkan kompetensi entrepreneurial melalui pendidikan kewirausahaan.
Revitalisasi politeknik
Terkait pendidikan vokasi, dilakukan revitalisasi politeknik. Saat ini, melalui revitalisasi politeknik telah terdapat 12 proyek percontohan politeknik yang telah direvitalisasi dan menjadi Tempat Uji Kompetensi (TUK) serta Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Selain itu, bertambahnya tenaga dosen dari industri, dan dosen-dosen yang telah mendapatkan sertifikat kompetensi baik itu internasional maupun dalam negeri.
Penguatan politeknik juga dilakukan lewat program Polytechnics Education Development Program (PEDP). Program ini membantu pengembangan kurikulum pendidikan vokasi berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebanyak 79 prodi, pembentukan 28 LSP dan 89 TUK, 11.931 mahasiswa yang telah mendapatkan sertifikat kompetensi, dan 254 perjanjian kerja sama dengan dunia industri.
“Seluruh program studi di perguruan tinggi, terutama pendidikan vokasi harus mempunyai lembaga sertifikasi profesi masing-masing. Tahun depan kami proyeksikan 100.000 lulusan memiliki sertifikasi kompetensi,” kata Nasir.
Nasir menambahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah juga dapat dilakukan dengan membangun Akademi Komunitas (AK). Salah satu yang disasar yakni pendirian AK berbasis pondok pesantren.
Saat ini, ujar Nasir, telah banyak pondok pesantren yang sudah memiliki jenjang pendidikan SMA/SMK. Kemristekdikti mendorong pesantren di Indonesia untuk meningkatkannya ke jenjang pendidikan tinggi.
“Kita tingkatkan kualitasnya ke pendidikan tinggi melalui jembatan yang namanya AK. Targetnya akan ada 30-40 pondok pesantren yang memiliki akademi komunitas di tahun 2019-2020,” ujar Nasir.
Melalui AK, pendidikan vokasi pada jenjang perguruan tinggi pun dapat dilaksanakan. Nantinya pendidikan vokasi melalui AK diharapkan dapat dikembangkan untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan lebih cepat.
Penyiapan lulusan perguruan tinggi juga dilakukan dengan memberikan pengalaman untuk masuk dunia kerja. Direktur Pembelajaran Kemristekdikti, Pristiyanti Nurwardani mengatakan, mulai tahun ini, utamanya perguruan tinggi negeri, menjalankan co-operative education (co-op). Program belajar bekerja terpadu bagi mahasiswa ini justru jadi kesempatan untuk memperkuat kompetensi dan softskills yang sesuai dengan kondisi dunia kerja saat ini.
Adapun untuk memperkuat kewirausahaan, perguruan tinggi didorong mengoptimalkan potensi riset menjadi inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan industri. Perguruan tinggi berpotensi mendukung lahirnya wirausaha pemula berbasis teknologi, sekaligus memperkuat peningkatan usaha kecil menengah berbasis inovasi.
Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti, Kemristekdikti, Patdono Suwignjo, mengatakan perguruan tinggi melalui inkubator bisnis mendukung agar inovasi dapat dikomersialisasikan sehingga meningkatkan daya saing bangsa.
"Perguruan tinggi sebenarnya potensial untuk menambah jumlah inkubator bisnis teknologi, yang bisa semakin meningkatkan jumlah wirausaha berbasis teknologi. Namun, perguruan tinggi secara umum masih lemah dalam mengkomersialisasikan inovasinya. Guna mendukung lebih banyak perguruan tinggi mendirikan inkubator bisnis, nanti disiapkan panduan untuk pendirian dan pembinaan inkubator bisnis yang sesuai standar dan berhasil melahirkan banyak wirausaha," ujar Patdono.