Sebuah Kisah dari Asmat
Wajah Agats, ibu kota Asmat, Papua, banyak berubah. Ekonomi menggeliat, infrastruktur mulai dibangun. Namun, warga di kampung-kampung sangat butuh pendampingan. Mereka masih perlu belajar konsep jaminan ketersediaan pangan dan pengetahuan dasar hidup sehat.
Speedboat (perahu motor cepat) baru saja merapat di dermaga Agats, Ibu Kota Asmat, Papua, Jumat (30/11/2018) sore. Aktivitas di dermaga tampak sepi. Hanya anak-anak berkulit hitam legam, bermain-main. Mereka meloncat dari dermaga ke sungai. Dari kejauhan, tanggul laut yang belum lama dibangun tampak miring. ”Itu talut belum lama dibangun, kok, sudah ada yang miring,” kata Uskup Agats Aloysius Murwito OFM begitu turun dari speedboat yang membawa dari Kampung Damen dan Waser.
Keluar dari dermaga, pasar di Kota Agats ramai. Di pasar, berbagai kebutuhan pokok dijual. Hanya ada satu pasar di sana. Saat kapal dari Timika atau Surabaya merapat di Agats, aktivitas di dermaga dan pasar kian meningkat.
Bersama dengan merapatnya kapal, pendatang pun merapat ke Agats. Mayoritas pendatang menguasai perekonomian. Kafe sederhana disertai ruang karaoke tumbuh. Wajah pendatang banyak berseliweran di jalan-jalan Agats. Agats menjadi kota multietnis.
”Suasana Agats telah banyak berubah,” ujar seorang aktivis kemanusiaan yang ditemui Kompas. Derap pembangunan infrastruktur terasa. Sore itu, tampak pekerja sedang mengaspal jalan. Jalanan di Agats bukanlah seperti jalanan di Jawa.
Agats dan sejumlah distrik di Asmat adalah kota di atas air. Kota di atas semak-semak atau pohon bakau. Jalanan dibangun dengan tiang beton atau kayu besi. Tidak ada kendaraan roda empat. Di Agats hanya ada kendaraan roda dua, motor listrik buatan China. Transportasi antarkampung menggunakan speedboat. Perjalanan harus memperhitungkan perubahan pasang surut air yang berkisar 5-7 meter setiap hari. Salah hitung bisa kandas.
Agats sempat menjadi pusat pemberitaan harian ini pada bulan Januari dan Februari 2018. Media internasional pun kemudian berdatangan. Saat itu terjadi kejadian luar biasa di Asmat. Paling tidak 61 anak meninggal karena busung lapar dan campak. Mereka tersebar di sejumlah distrik di Asmat. Korban paling banyak ada di Kampung As dan Atat. Jarak antara As dan Atat dengan Agats adalah empat jam perjalanan dengan speedboat 45 PK.
Kilas balik
Harian ini pada edisi Sabtu, 13 Januari 2018, menulis dengan judul besar, ”Bencana Kesehatan di Asmat”, disertai foto ekstrem anak-anak berkulit hitam kurus kering. Senin, 15 Januari 2018, harian ini kembali menulis, ”61 Anak Meninggal Dunia.” Berita itu menggambarkan bagaimana Rumah Sakit Umum Daerah Agats tak bisa menampung pasien anak-anak yang kurang gizi. ”Mereka dirawat di selasar,” kata seorang pastor menceritakan situasi mencekam di Agats kala itu.
Liputan jurnalistik itu menggerakkan banyak pihak. Solidaritas sosial terbangun. Sejumlah pengusaha, termasuk filantrofis Dato’ Sri Tahir menyumbang
Rp 3 miliar untuk Agats. Warga Surabaya dan Wali Kotanya, Tri Rismaharini, juga menyumbang.
Presiden Joko Widodo terbang ke Agats untuk memastikan penanganan status kejadian luar biasa (KLB) itu. Joko Widodo menjadi satu-satunya presiden yang pernah datang ke Agats. Dia berkeliling mengendarai motor listrik. Motor bernomor RI 1 itu kini disimpan di Museum Asmat. ”Selama saya di sini, baru Presiden Jokowi yang pernah datang,” ujar Uskup Murwito. Pria asal
Sleman itu menjadi uskup sejak 2002.
Hampir sembilan bulan berlalu, situasi Agats dan sejumlah distrik mulai berbenah. Di Kampung As dan Atat, tempat pertama kali ditemukan busung lapar, rumah bantuan pemerintah mulai dibangun. Umbul-umbul BUMN yang membangun rumah rakyat berkibar.
Konstruksi jembatan yang membelah sungai mulai dikerjakan di distrik lain. Bak penampungan air hujan bantuan dari pembaca Kompas sudah berada di lokasi. Warga Asmat memang minum dari air hujan yang mereka tampung. Lapangan bermain sudah selesai dan dimanfaatkan warga sejumlah distrik.
”Terima kasih kepada Kompas yang mengangkat KLB di Asmat,” ujar Wakil Bupati Asmat Thomas E Safanpo di jew atau rumah bujang di Kampung Damen. Dengan berita Kompas, kata Thomas, Presiden, menteri, dan gubernur semua tergerak.
Seorang warga yang ditemui di Agats mengatakan, berita busung lapar itu mengguncang rasa nyaman, aman, dan mapan.
”Apakah kejadian seperti kemarin tak ada lagi, boleh jadi masih ada, tetapi tidak cukup terpublikasikan,” katanya.
Perlu pendampingan
Seorang dokter puskesmas di Distrik Atsy mengatakan, setelah KLB, perhatian pemerintah provinsi dan kabupaten semakin besar. Program Bangga Papua berupa pemberian subsidi Rp 200.000 kepada ibu hamil dipastikan berjalan.
Program 1.000 Hari Pertama Kehidupan berupa pemberian nutrisi sehat kepada ibu dan anak hingga anak usia tiga tahun menjadi prioritas utama. ”Ada komitmen agar sistem itu berjalan,” ujar dokter asal Poso tersebut.
Meski ada perbaikan, distrikdistrik yang tersebar di Asmat tetap perlu perhatian. Markus, Kepala Kampung Atat, mengatakan, kunjungan tenaga medis ke kampung terbatas. Menuju Kampung Atat butuh waktu empat jam dengan speedboat dari Agats. Sinyal telekomunikasi tidak ada. ”Pernah ada anak meninggal dalam perjalanan ke Agats,” ujar Markus.
Kawasan itu baru terbuka dengan dunia luar pada tahun 1950-an. Orang Asmat hidup di rawa sepanjang selatan Papua. Misionaris Belanda, Pastor Zegwaard MSC, menggambarkan orang Asmat sebagai manusia yang beringas dan akrab dengan tradisi kekerasan.
Di sisi lain, perjalanan menyusuri sungai di Asmat menawarkan keindahan.
Ukiran kayunya menarik perhatian dunia. Cerita atau narasi budaya tertuang dalam patung Asmat.
Namun, Asmat tetap butuh pendampingan bagi warganya. Pendampingan untuk hidup sehat, di lingkungan sehat, dengan makan sehat, selain tentunya infrastruktur memadai.
Ketika dunia dan elite di Indonesia gencar bicara soal Revolusi 4.0, sukarelawan
di Asmat masih berjuang untuk menawarkan program Sikat Gigi Bersama bagi pelajar dan serta Makan Bersama untuk Ibu Hamil. Ketika industri keuangan didisrupsi oleh perkembangan teknologi finansial, para pendamping masih sibuk memperkenalkan budaya menyimpan pangan bagi warga Asmat. Kebiasaan warga Asmat, apa yang didapat hari ini dihabiskan hari ini.
Meski ukiran Asmat bernilai tinggi, kabupaten berpenduduk 100.000 orang dengan Indeks Pembangunan Manusia 47,26 di tahun 2016, membutuhkan perhatian. Butuh pemimpin imajinatif yang punya mimpi bagaimana Asmat dikembangkan, tanpa harus ada loncatan budaya. Asmat yang tetap bisa hidup harmoni dengan alam dan warganya.
(Budiman Tanuredjo)