NUSA DUA, KOMPAS — Tantangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk keluar dari perangkap pendapatan menengah semakin berat. Transformasi ekonomi mesti segera direalisasikan kendati kondisi perekonomian global masih belum pasti.
Guru Besar Perdagangan Internasional dan Investasi dari John F Kennedy School of Government Universitas Harvard Robert Z Lawrence berpendapat, situasi perekonomian global masih diselimuti ketidakpastian dalam beberapa tahun mendatang. Tanpa reformasi kebijakan fiskal, kondisi itu membuka tantangan lebih berat bagi negara berkembang untuk keluar dari perangkap pendapatan menengah.
Pada 2019, tantangan meningkatkan kinerja ekspor semakin berat. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan volume perdagangan global pada 2018 dan 2019 masing-masing 4,2 persen dan 4 persen. Padahal, pada 2017, volume perdagangan dunia tumbuh 5,2 persen.
IMF juga mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen. Langkah yang sama dilakukan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dari 3,9 persen menjadi 3,5 persen.
Meski demikian, lanjut Robert, perekonomian negara berkembang, terutama Indonesia, masih berpeluang tumbuh, dengan syarat mampu merealisasikan diversifikasi ekspor dan rantai nilai global. Pemerintah mesti serius membenahi sektor pertanian dengan cara mengalihkan ekspor komoditas mentah ke produk bernilai tambah.
Penguatan sektor pertanian harus dibarengi pemanfaatan teknologi dan reformasi struktur ekonomi. Teknologi akan meningkatkan produktivitas dan memperluas pasar petani. Sementara pemenuhan kebutuhan domestik menjadi strategi memperkecil defisit neraca perdagangan di tengah hambatan ekspor terhadap negara-negara berkembang.
”Bicara tentang perangkap pendapatan menengah, Indonesia belum menyelesaikan tahap pengembangan jika hanya memindahkan pekerja dari sektor pertanian ke industri. Justru (Indonesia) harus memiliki petani yang akan meningkatkan pasar domestik,” ujar Robert dalam The 8th Annual International Forum on Economic Development and Public Policy di Nusa Dua, Bali, Jumat (7/12/2018).
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, selama ini hanya segelintir negara yang bisa lepas dari perangkap pendapatan menengah yang berkisar 10.000 dollar AS-15.000 dollar AS per kapita. Negara yang berhasil lepas dan kini masuk kategori pendapatan tinggi antara lain Singapura, Taiwan, Hong Kong, Jepang, dan Korea Selatan.
Indonesia bisa keluar dari perangkap ini jika memiliki sumber daya manusia yang produktif, akses infrastruktur mudah, institusi birokrasi berkualitas, dan kebijakan ekonomi terbuka yang kompetitif.
”Memiliki institusi birokrasi yang berkualitas dan berintegritas jadi tantangan paling sulit. Hal serupa dialami China,” kata Sri Mulyani.
Indonesia bisa keluar dari perangkap ini jika memiliki sumber daya manusia yang produktif, akses infrastruktur mudah, institusi birokrasi berkualitas, dan kebijakan ekonomi terbuka yang kompetitif.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Amalia Adininggar Widyasanti menuturkan, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 mencakup tiga poin utama, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, merealisasikan transformasi ekonomi, serta memacu produktivitas terutama pertanian dan manufaktur.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus dipacu kendati cukup sulit melampaui 5,5 persen. Proyeksi ekonomi pada 2018 dan 2019 masing-masing 5,2 persen dan 5,3 persen. Namun, dari hitungan Bappenas, ekonomi Indonesia bisa tumbuh rata-rata 5,7 persen pada 2036-2045.
”Investasi sumber daya manusia dan reformasi kebijakan struktural jadi kunci,” lanjutnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2018 sebesar 5,17 persen, dengan produk domestik bruto (PDB) Rp 3.835,6 triliun. Kontribusi PDB terbesar dari Jawa, yakni 58,57 persen.
Country Director Bank Pembangunan Asia (ADB) Indonesia Winfried Wicklein menambahkan, penguatan fundamen ekonomi mesti dilakukan secara konsisten di tengah ketidakpastian global. Persaingan menarik investor di kawasan Asia Tenggara akan semakin ketat.
Cadangan devisa
Sementara itu, berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia, cadangan devisa Indonesia pada akhir November 2018 menjadi 117,2 miliar dollar AS. Peningkatan cadangan devisa ini bersumber dari minyak dan gas bumi, penarikan utang luar negeri pemerintah, dan penerimaan devisa lain.
Penguatan nilai tukar rupiah, masuknya dana asing, dan pasokan valuta asing (valas) yang cukup signifikan juga menjadi pendorong peningkatan devisa.
Direktur Komunikasi Departemen Komunikasi BI Junanto Herdiawan dalam keterangan pers menyampaikan, posisi cadangan devisa itu setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
”BI menilai cadangan devisa tetap memadai dan mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” katanya.