Daunnya yang lebat menghijau, pangkalnya menggelembung, dipadu bunga ungu cerah sebenarnya lumayan indah. Tanaman eceng gondok yang memiliki nama latin keren Eichhornia crassipes itu bisa mengapung di atas air. Tumbuh menggerombol di mana saja, dari sungai, danau, rawa hingga kolam danau. Dia terkenal bandel dan cepat beranak pinak, serta daya adaptasi tinggi di berbagai habitat.
Tanaman itu konon ditemukan tidak sengaja oleh ahli botani Jerman, Carl Fridrich Philipp von Martius, saat ekspedisi di Sungai Amazon Brazil, tahun 1824.
Namun kehadirannya di Indonesia berawal saat Thomas Stanford Raffles berkuasa di Jawa. Sang isteri Gubernur Jenderal Jawa (1811-1816) itu, Olivia Mariamme Devenish terpikat dengan bunganya dan menanam di kolam Kebun Raya Bogor. Tak dinyana, si eceng gondok berkembang pesat memenuhi permukaan kolam Istana Bogor. Pekerja membersihkan sebagian tanaman dan membuangnya.
Sejak saat itu, tanaman itu menyebar ke seluruh Indonesia. Bahkan ada anekdot, eceng gondok adalah peninggalan Raffles yang berkuasa hingga kini di Indonesia. Bukan lagi sebagai tanaman hias, akan tetapi jadi gulma atau tanaman penganggu.
Tidak jelas benar, mengapa tanaman itu disebut eceng gondok. Apa karena keberadaannya membuat gondok alias kesal hati lantaran merusak lingkungan, atau karena bentuk batangnya menggelembung mirip gondok. Yang jelas, keberadaanya dengan berbagai kerepotan yang ditimbulkan, menyisakah masalah di sungai, bendungan, atau danau. Permukaan air bisa tertutup dengan cepat olehnya. Kerusakan ekosistem pun terjadi.
Danau Rawapening di Semarang, Jawa Tengah, misalnya, merupakan contoh lokasi yang dirusak tanaman eceng gondok. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, luas Rawa Pening terus menyusut dari 2.670 hektar (ha) pada 2002 menjadi 1.850 ha pada 2015. Dari luasan yang tersisa, 70 persen (820 ha) penuh eceng gondok.
Rawa Pening merupakan satu dari 15 danau yang akan direvitalisasi pemerintah. Penyusutan terjadi karena sedimentasi dan perubahan tata guna air. Sudah pening, tambah gondok. Pemulihan Danau Rawa Pening ditargetkan rampung tahun 2020 dengan total biaya Rp 2 triliun (Kompas, 30/6/2018).
Di Jakarta Utara, kehadiran eceng gondok yang bercampur dengan tumpukan sampah sempat memenuhi Waduk Pluit. Kedalaman air waduk menyusut menjadi dua meteran dari yang semestinya mencapai 10 meteran. Dengan biaya yang tidak sedikit, Pemprov DKI berusaha mengembalikan fungsi Waduk Pluit sebagai pengendali banjir Jakarta Utara dan Pusat.
Petugas mesti berusaha keras dan dana tak sedikit untuk membersihkan si eceng yang bikin gondok ini di Waduk Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Sementara, Pemprov DKI Jakarta melangkah sebaliknya. Eceng gondok digunakan membersihkan air Kali Penghubung Bisma Inlet 3, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Lambas Sigalingging, Kepala Satuan Pelaksana Unit Pelaksana Kebersihan (UPK) Badan Air Dinas Lingkungan Hidup Wilayah Jakarta Utara, mengakui, ada perdebatan soal penanaman eceng gondok karena dinilai mencemari lingkungan. Namun dia yakin langkah ini berdampak positif. Bahkan, jika langkah ini berhasil, hal serupa akan diterapkan di sungai lain di Jakarta.
Sejumlah ahli dan pemerhati lingkungan pun sudah berurun pendapat terkait langkah penanaman eceng gondok ini. Bahwa, Pemprov DKI Jakarta memiliki pendapat berbeda ya kita tinggal tunggu hasilnya kelak. Tentu, mudah-mudahan seperti yang direncanakan. Jangan malah bikin gondok.