Sekitar pukul 20.00, ruang produksi Manti Menuik di Ladang Tari Nan Jombang, Kota Padang, Jumat (30/11/2018), mendadak gelap. Penonton yang telah memenuhi ruangan seketika hening. Tak lama, lampu perlahan menyorot sosok seorang lelaki yang meringkuk lemah. Lelaki lain di dekatnya mendendangkan nyanyian tentang kepiluan....
Selama hampir 20 menit, penonton dibuat terpukau oleh pertunjukan ”Nyanyian Hutan”. Koreografi ini bercerita tentang keresahan masyarakat Sakai di pedalaman Provinsi Riau yang kehilangan hutan. Hampir 90 persen hutan yang dulu mereka tempati dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. ”Itu otomatis jadi masalah dan menggerus kebudayaan,” kata Direktur Artistik dan Koreografer Pusat Latihan Tari Laksemana Iwan Irawan Permadi.
Menurut Iwan, dirinya memadukan gerakan tari tradisi olang-olang (elang) dan tari perang Sakai dalam ”Nyanyian Hutan”. Agar makin kuat memperlihatkan tentang Sakai, selain memasukkan pengiring musik berupa suling dan genggong, semua pemainnya juga mengenakan baju dari kulit kayu asli.
”Kegelisahan yang diperlihatkan lewat gerakan-gerakan ini sebenarnya seperti elang yang tidak lagi menemukan sarang,” kata Iwan.
”Nyanyian Hutan” dari PLT Laksemana asal Riau adalah salah satu karya yang dipentaskan dalam Kaba Festival 2018. Festival seni pertunjukan kontemporer ini diselenggarakan Nan Jombang Dance Company dan Komunitas Galombang Minangkabau, 26 November-2 Desember 2018.
Selain dari dalam negeri, festival yang didukung Indonesiana (platform pendukung kegiatan seni budaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), Dinas Kebudayaan Sumbar, serta Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, dan Bakti Budaya Djarum Foundation itu juga diikuti seniman dari luar negeri.
Selain PLT Laksemana, dari Tanah Air turut hadir antara lain Aco Dance Company (Makassar), Aqick Percussion (Jakarta), Impessa Dance Company (Padang), Komunitas Tari Galang Performing Art (Padang), Rianto (Banyumas-Jepang), dan Rumah Gadang Dance Company (Solok, Sumbar). Hadir pula beberapa seniman dari luar negeri.
Dibandingkan dengan tahun lalu, karya-karya di Kaba Festival 2018 dinilai makin baik. Kaba Festival 2018 makin dalam mengungkap kegelisahan-kegelisahan para seniman sebagai hasil pembacaan para koreografer terhadap apa yang terjadi di daerahnya. Tidak hanya kritik soal lingkungan seperti yang ditampilkan PLT Laksemana, tetapi juga isu degradasi moral hingga hubungan antar-manusia.
Aco Dance Company asal Makassar lewat karya berjudul ”Pau-pau, Suara Tanpa Kata” mencoba mengangkat kembali sastra lisan Bugis-Makassar yang berisi pesan tentang menjaga alam. ”Kalau kita mengabaikan itu (alam), maka sama saja dengan merusaknya,” kata Ridwanaco, koreografer Aco Dance Company.
Ridwanaco, yang aktif di dunia tari sejak 1987, malam itu tampil sendiri dengan musik pengiring lantunan suling. Mengenakan sarung dan bertelanjang dada, ia bergerak sangat lentur di atas panggung. Gerakan dan ekspresinya seolah mengisyaratkan apa yang terjadi ketika manusia mampu menjaga harmoni dengan alam ataupun sebaliknya.
Rumah Seni Balai Proco asal Riau juga mengangkat sastra lisan Rokan Hulu lewat karya berjudul ”Tari Onduo Dalam Gorak”. Menurut Dasrikal selaku koreografer, dia mencoba mengombinasikan kekuatan vokal dengan gerakan tari, termasuk memasukkan unsur gerakan silat tradisional. ”Tari ini lebih ke ekspresi sastra lisan yang berisi nasihat atau petuah,” ujarnya.
Minangkabau
Seniman Minangkabau yang tampil juga mengungkapkan kegelisahan-kegelisahan akan kondisi kekinian di Sumbar. Secara umum, karya-karya mereka didominasi gerakan silek (silat) sebagai akar dalam berkesenian.
Sukri Dance Theatre lewat karya ”Tonggak Raso” mengombinasikan tiga gerakan silat sekaligus, yakni Silek Tuo asal Solok, Silek Kumango dari Batusangkar (Tanah Datar), dan Silek Ulu Ambek dari Padang Pariaman. ”Tonggak mengacu pada fondasi. Laiknya ketika membangun rumah gadang, kalau fondasi tidak kuat, bisa roboh,” kata Ali Sukri, koreografer.
Tantra Dance Theatre asal Padang yang membawakan karya ”Pusaran” juga memperlihatkan kekuatan gerakan silat. Indrayuda selaku koreografer mengatakan, dirinya memang berlatar belakang silat. Hanya saja, ”Pusaran” tidak semata memperlihatkan gerakan silat, tetapi juga sentuhan tari Jawa dan Bali.
Meski kompleks, Indrayuda mampu menjalinnya dengan baik sehingga setiap perpindahan dari gerakan silat ke tari Jawa atau Bali tidak kentara. ”Saya basisnya memang silat. Tetapi, juga ada gerakan Jawa dan Bali karena saya juga tinggal di Jawa,” kata Indrayuda.
Impessa Dance Company lewat ”Kato” juga menonjolkan gerakan silat Minangkabau. Tetapi, yang unik, karya yang mencoba mengetengahkan kegelisahan akan peran lembaga Bundo Kanduang (organisasi perempuan Minangkabau) itu menggabungkan silat dengan breakdance dan gerakan wushu.
”Para penari awalnya anak-anak breakdance. Lalu, saya membina mereka dengan memasukkan kesenian tradisi berupa motif-motif silat,” kata koreografer ”Kato”, Joni Andra.
Komunitas Tari Galang Performing Art lewat karya berjudul ”Ditokok Mangko Babunyi” menyuguhkan sastra lisan Salawik (salawat) Dulang asal Payakumbuh. Menurut koreografer Deslenda, lewat karya yang memadukan dendang, silat, serta randai seperti tepuk galembong (menepuk kain hingga menghasilkan suara), ia ingin bicara tentang perilaku masyarakat yang sudah terlewat sumbang seperti degradasi moral dan penyakit sosial.
Berbagai cerita lewat gerak itu mampu menarik penikmat seni pertunjukan kontemporer datang ke Kaba Festival. Tak peduli hujan yang saban malam turun, mereka tetap antusias untuk tidak melewatkan pertunjukan.