Konversi Lahan Pertanian Jadi Masalah Utama Ketahanan Pangan
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS- Konversi lahan pertanian menjadi salah satu masalah utama yang perlu dicari solusinya oleh pasangan capres-cawapres demi keberlangsungan pertanian yang berkelanjutan. Saat ini belum ada program konkret terkait pertanian yang dijabarkan oleh kedua pasangan calon. Selain itu, perlu adanya sinergitas antara infrastruktur yang dibangun dengan kemajuan sistem pertanian di Indonesia.
Sekretaris Jendral Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) Walneg S. Jas mengatakan, saat ini terjadi gap yang signigikan antara pertumbuhan penduduk dengan berkurangnya lahan pertanian. Hal ini dikhawatirkan membuat Indonesia menjadi sangat bergantung dengan impor bahan pangan.
"Tiap tahunnya lahir 3 juta manusia baru di Indonesia, padahal lahan pertanian berkurang sebesar 120.000 hektar per tahun. Akibat kurangnya lahan pertanian ini, dikhawatirkan negara tidak sanggup memenuhi kebutuhan pangan jika tidak impor," ucapnya dalam Diskusi Kebijakan Pertanian di Bogor, Jawa Barat, Minggu (09/13/2018).
Walneg mengatakan, saat ini belum ada program konret yang dijabarkan oleh pasangan capres-cawapres terkait rencana ketahanan pangan Indonesia. Ia menjelaskan, jika Indonesia terus bergantung pada impor pangan, negara lain berpotensi akan mendikte dan mendoktrin Indonesia.
Pakar ekonomi pangan dari IPB, Bustanul Arifin menjelaskan, konversi lahan ini secara masif terjadi selama lima tahun terakhir. Ia mengatakan, pada tahun 2013, Indonesia masih memiliki sekitar 7,7 juta hektar lahan pertanian.
"Namun, berdasarkan data Oktober 2018, saat ini hanya tinggal 7,1 hektar lahan pertanian di Indonesia. Berarti terjadi pengurangan sekitar 120.000 hektar tiap tahunnya. Padahal sudah ada UU 41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, tapi implementasinya belum efisien," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, calon wakil presiden Sandiaga Uno mengatakan, perlu adanya perda yang mengatur terkait konversi lahan ini. Menurut Sandiaga, kebijakan alih fungsi lahan biasanya terjadi di tingkat pemerintah daerah.
"Kemudian, menurut saya, kebijakan untuk memindahkan lahan pertanian ke daerah tertentu khususnya luar pulau Jawa masih belum efektif. Kita memang perlu mencari lahan sebagai pusat produksi pertanian, namun perlu didukung dengan fasilitas yang memadai," ucapnya.
Menurut Sandiaga, perlu adanya kesadaran dari generasi muda untuk ikut serta dalam pengelolaan pertanian berkelanjutan. Ia mengatakan, jika generasi muda dilibatkan dalam sektor pertanian, hal ini bisa menekan jumlah konversi lahan tersebut.
"Saya melihat, generasi milenial ini sangat berpotensi menjadi wirausaha. Oleh sebab itu kami berencana untuk menyusun program terkait wirausaha di bidang agrobisnis agar generasi milenial bisa turut berpartisipasi," ucapnya.
Sebelumnya, secara terpisah, Presiden Joko Widodo menilai, masalah ketahanan pangan saat ini karena faktor kelangkaan air. Hal ini ia sampai dalam Temu Petani Lampung dan Presiden di tanah lapang di tengah sawah Desa Pelayangan, Kecamatan Padasuka, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung, (Kompas, 24/11/2018).
”Masalah pertanian yang saya lihat air. Bukan hanya di Lampung, melainkan juga di Jawa dan NTT dan daerah lainnya. Kita hujan banyak sekali, tapi bendungan kita kurang sekali,” tutur Presiden.
Hingga 2014, Indonesia hanya memiliki 231 bendungan dan waduk. Sebagai pembanding, China memiliki 110.000 waduk dan bendungan, sedangkan India memiliki 1.500 waduk dan bendungan. Amerika memiliki 6.100-an bendungan, sedangkan Jepang sekitar 3.000 bendungan.
Oleh karena itu, kata Presiden, saat ini diupayakan pembangunan waduk dan bendungan. Tanpa prasarana tersebut, upaya mendorong swasembada pangan akan sulit terwujud.
Saat ini, pemerintah membangun 65 waduk dan bendungan di seluruh Indonesia, dua di antaranya di Kabupaten Lampung Timur dan Pringsewu. Selain itu, pemerintah juga memikirkan jalur irigasi yang baik supaya panen bisa lebih banyak dalam setahun. Presiden pun menyatakan sangat menghargai pembangunan embung-embung kecil di desa-desa.
Menanggapi hal tersebut, Walneg mengatakan, pembangunan infrastruktur yang dibangun pemerintah juga harus bersinergi dengan kemajuan sistem pertanian di Indonesia. Menurut Walneg, pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah tidak terlalu berpengaruh pada konversi lahan pertanian.
"Pembangunan infrastruktur yang masif tidak masalah, selama itu bisa disinergikan dengan pogram di sektor pertanian. Hal yang menjadi masalah yaitu jika konversi lahan ini dilakukan untuk kegiatan komersil seperti pembangunan perumahan misalnya. Oleh sebab itu, perlu ada regulasi yang mengatur hal ini," ucapnya.