Mawar Merah di Hilir Sarmiento
Jika hidup ibarat sungai, maka kita tidak pernah tahu yang akan kita jelang di depan. Sebagaimana refleksi pendiri dan CEO Apple Inc periode 1971-2011 (almarhum) Steve Jobs, kita hanya bisa menghubungkan peristiwa-peristiwa kehidupan dalam perspektif ke belakang.
Apa yang kita capai hari ini adalah keberlanjutan dari peristiwa-perisitwa yang telah kita alami sebelumnya. Bahkan, ketika semuanya tampak di luar rencana, di luar keinginan, di luar jalur.
Awal Desember lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla berlayar di Sungai Tigre-Sarmiento, Buenos Aires, Argentina selama kurang lebih dua jam. Ia didampingi Mufidah Jusuf Kalla.
Jika ditarik 10 tahun ke belakang, apakah peristiwa tersebut ada hubungannya dengan peristiwa Kalla mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meresmikan Museum Jenderal Besar Abdul Haris Nasution di Jakarta, 3 Desember 2008? Jika masih hidup, Jobs akan menjawab pasti terhubung.
Saat itu, Kalla adalah wakil presiden SBY. Momentum itu terjadi dalam situasi ketika Kalla dan SBY sama-sama tahu akan saling berhadapan pada pemilihan presiden (pilpres) 8 Juli 2009. Dalam situasi kebatinan yang tidak mudah tersebut, Kalla mendampingi SBY, orang yang telah ia dampingi selama 4,5 tahun sekaligus petahana yang tak akan menggandengnya lagi pada kontestasi politik berikutnya.
Pada 5 Mei 2008, KPU telah mengumumkan tiga pasangan calon yang akan bertarung. Kalla berpasangan dengan Wiranto. Sementara SBY berpasangan dengan Boediono. Adapun pasangan calon lain adalah Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto.
Sejarah kemudian mencatat, SBY-Boediono memenangi pilpres. Dan Kalla, kalah. Pada 4 Oktober 2009, Kalla juga harus lengser dari jabatan ketua umum partai Golkar periode 2004-2009. Ia tidak mencalonkan diri lagi dalam Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau.
Tahun 2009 adalah tahun ketika Kalla lengser dari dua posisi puncak karir politiknya, yakni wakil presiden RI dan ketua umum Partai Golkar. Saat itu, usia Kalla sudah 67 tahun. Dalam perspektif umum, karir politik pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942 itu, sudah selesai. Kalla sudah terlempar keluar dari jalur utama politik nasional.
Namun Winston Churchill mengatakan, sukses bukanlah capaian akhir dan kegagalan bukanlah persoalan fatal. Adalah keberanian untuk terus majulah yang menjadi ukuran.
Jalur sosial keagamaan
Setelah lengser dari dua puncak karir politik di 2009, Kalla memang tidak lagi berlayar di arus utama politik nasional. Namun ia tidak berhenti. Pada 22 Desember 2009, ia terpilih menjadi ketua umum Palang Merah Indonesia (PMI) periode 2009-2014. Tiga tahun kemudian, ia terpilih menjadi ketua umum Dewan Masjid Indonesia (DMI). Ia terpilih secara aklamasi dalam Muktamar DMI di Jakarta, 29 April.
Ia bahkan sempat menjadi pemandu program Kompas TV bertajuk Jalan Keluar dalam sejumlah episode. Pengalamannya yang beragam, mulai dari dunia bisnis, politik, sampai ke pemerintahan, memberi nilai tambah pada program talk show tersebut.
Salah seorang narasumber dekat Kalla mengatakan, Kalla tak pernah berpikiran untuk membangun kembali karir politiknya pasca kalah dalam kontestasi pilpres 2009. Oleh sebab itu, Kalla memilih mengaktualisasikan diri menjadi ketua umum PMI dan ketua umum DMI. ”Katanya, menanam amal kebajikan buat tiket ke surga,” kata sumber itu.
Kalla tidak pernah berpikiran untuk kembali meraih tampuk kekuasaan politik-pemerintahan. Kembali ke Istana Wakil Presiden di Jalan Merdeka Selatan Nomor 6, Jakarta, sama sekali di luar mimpi terliarnya.
Namun dinamika politik kemudian membuatnya dipasangkan sebagai wakil presiden mendampingi Joko Widodo pada pilpres 2014. Kalla akhirnya kembali ke Merdeka Selatan setelah lima tahun berlayar di jalur sosial-keagamaan. Awal Desember ini, Kalla telah melakoni 4 tahun tugas sebagai wapres jilid II-nya.
Sebelas bulan menjelang akhir masa jabatannya, tugas kenegaraan Kalla bukannya surut tetapi justru makin padat. Pada 30 November–1 Desember 2018, ia mewakili Indonesia dalam pertemuan puncak G20 di Buenos Aires, Argentina. Dalam kesempatan itu, Kalla menyampaikan arah kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia sekaligus mendengar langsung arah kebijakan dari para pemimpin negara G20 lainnya.
Setelah kembali ke Tanah Air, tugas lain menunggu. Salah sanya, mengawal rehabilitasi dan rekonstruksi daerah terdampak bencana di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah.
Teman seperjalanan
Dari Bandar Udara Militer Cuesta Salgureo di Buenos Aires, pesawat rombongan wakil presiden tinggal landas pada 2 Desember malam. Paginya, Kalla menyempatkan diri berlayar di Sungai Tigre-Sarmiento, Buenos Aires. Setia di sampingnya dari awal sampai akhir pelayaran; Mufidah Jusuf Kalla.
Kalau ada orang yang paling tahu jatuh-bangunnya Kalla dalam perjalanan hidup, Mufidah-lah orangnya. Perempuan asal Minangkabau itu, isteri sekaligus teman seperjalanan.
Dan perjalanan Kalla, sekali lagi mengambil refleksi Steve Jobs, bukanlah rentetan peristiwa yang terpisah-terpisah. Semuanya terhubung dalam jalur yang akhirnya mengantarkan Kalla berlayar di Sungai Tigre-Sarmiento di awal Desember 2018 itu sebagai wakil presiden.
Bukan kebetulan jika Kalla kalah di pilpres 2009. Bukan kebetulan juga jika waktu kemudian mengarahkan Kalla menjadi ketua PMI, ketua DMI, dan pemandu acara talk show di stasiun televisi. Dalam perspektif ke belakang, semuanya terhubung. Semua ada alasannya.
Kalla masih akan terus berlayar. Mufidah pasti tak akan jauh dari pandangan. Karena pelayaran itu bukan milik Kalla semata. Itu juga pelayaran Mufidah. Dan di siang cerah menjelang hilir Sarmiento, tak lupa Kalla memberikan sekuntum mawar merah kepada dia yang selalu setia.