Patung yang Mengundang Senyum
New York, Amerika Serikat, adalah salah satu pusat bisnis dunia. Gedung pencakar langit dan lalu lalang manusia memenuhi tiap sudut kota itu. Sesak dan riuh. Untunglah, di tengah kepadatan kota yang tak pernah tidur itu terselip karya-karya seni di ruang publik.
Pagi itu, pertengahan Oktober 2018, gerimis menitis di New York. Langit mendung. Pepohonan pucat. Jalanan basah. Setiap kali mobil melintas, air sedikit terciprat. Hawa dingin, sekitar 12 derajat celsius. Orang-orang berjalan bergegas dalam dekapan jaket.
Tak peduli dengan dingin itu, sejumlah orang berkerumun di depan patung di sudut 55th Street & 6th Avenue. Tulisan besar ”LOVE”, dengan huruf ”O” miring, setinggi sekitar tiga kali tinggi rerata badan orang dewasa, menonjol dalam warna merah menyala. Karya seni ini menyisipkan kesegaran di tengah impitan gedung modern yang serba kotak-kotak.
Bergantian para pengunjung berpose di dekat patung itu. Mereka santai, antre dengan tertib untuk dipotret. Sebagian orang menatap patung itu sambil mengucap kata ”love”, lalu tersenyum. Beberapa pasangan bahkan berpose sambil berciuman atau berangkulan mesra. Lafaz cinta itu bak mantra yang memicu perilaku romantis.
”Anda mau dipotret juga?” seseorang tiba-tiba menyapa dari belakang. Berbalik sambil mengangguk senang, saya—yang datang sendirian pagi itu—menyorongkan kamera. Saya dapat giliran berpose dan dia pun menyentuh tombol jepret. Perempuan berambut panjang itu berasal dari Vietnam, datang bersama suaminya, dan sengaja mengunjungi patung ini meski pernah berkali-kali ke sini. Katanya, berpose di depan patung ini ”ngangeni”. Sayang dilewatkan.
Bergeser sedikit, di 53rd Street & 7th Avenue, berdiri kembaran patung ”Love”. Serupa warna, bentuk, dan tingginya, tetapi tulisannya berbeda: ”Hope”. Kali ini, saya menjenguk karya seni itu bersama rombongan wartawan Indonesia yang datang atas undangan Singapore Airlines, setelah kami menjajal penerbangan komersial terlama di dunia, Singapura-New York, selama lebih dari 17 jam, dengan pesawat Airbus A350-900.
”Love” dan ”Hope”, karya seniman Amerika Serikat, Robert Indiana (meninggal Mei 2018), menjadi ikon penting kota New York. Beberapa versi serupa juga dipajang di kota-kota lain di dunia. Publik menyukai karya ini karena mengabadikan dua kata yang diidamkan banyak orang. Cinta dan harapan. Keduanya modal untuk menata kehidupan, saling mengasihi, dan menebarkan semangat yang baik.
Secara visual, tampilan dua patung itu memang asyik. Warnanya merah menyala. Ukurannya besar. Susunan hurufnya sederhana, mudah dibaca, tapi juga dinamis dengan dua huruf ditata di atas dua huruf lain, dan huruf ”O” miring. Kemasan karya ini mewakili spirit pop art yang ngejreng.
Banyak patung
Di New York, ada banyak patung dipajang di ruang publik. Tak jauh dari patung ”Love” tadi, masih di 53rd Street & 6th Avenue, misalnya, berdiri tiga patung Venus berjudul ”Looking Toward The Avenue” karya Jim Dine. Materialnya perunggu, berwarna kehijauan. Dua di antaranya diletakkan di atas kolam sehingga terkesan melayang.
Permukaan tiga patung perempuan itu kasar dengan tekstur acak. Bentuk dasar tubuh itu tetap mengingatkan kepada sosok Venus. Asyik juga cara Jim Dine menghidupkan sejarah dewi kecantikan pada mitologi klasik Romawi ke dalam bahasa kekinian.
Masih di salah satu sudut di 6th Avenue, ada sepasang patung ”Paparazzi Dogman & Paparazzi Rabbitwoman” karya Gillie and Marc. Satu berbentuk anjing, satu lagi kelinci. Dua binatang itu sama-sama membawa kamera dalam posisi siap memotret siapa pun yang melintas.
Dari jalan ini, kita bisa meneruskan berjalan kaki ke Central Park. Di sela pepohonan di taman luas dan terbuka ini, warga bisa rebahan di rerumputan, jalan atau lari, atau bercengkerama bersama keluarga dan teman.
Bagi pencinta seni, di situ juga ada sejumlah patung yang patut dinikmati. Patung-patung itu menggambarkan tokoh terkenal; tokoh perang, musisi, sastrawan, atau pemburu. Salah satunya patung Columbus karya seniman Spanyol, Jeronimo Sunol. Pelaut dunia itu digambarkan tengah berdiri sambil memegang semacam penunjuk kemudi kapal. Sore itu, beberapa pengamen bermain musik di bawah patung ini.
Museum seni
Bagi mereka yang ingin lebih serius mempelajari karya seni bisa mampir ke The Museum of Modern Art (MoMA). Dengan tiket 25 dollar AS, kita bisa melihat koleksi karya dari berbagai aliran seni rupa modern dunia yang selama ini diajarkan dalam buku sejarah.
Dari banyak koleksi itu, ada tiga karya yang menyedot perhatian pengunjung. Pertama, lukisan ”The Starry Night” karya seniman Belanda, Vincent van Gogh. Karya tahun 1889 itu berukuran kecil, 74 cm x 92 cm, tapi menggetarkan. Pemandangan langit biru penuh bintang disusun dari goresan acak, bertumpuk-tumpuk, dengan sapuan garis yang meliuk-liuk. Ada gairah meledak-meledak.
Banyak pengunjung menatapi lukisan itu dalam-dalam. Sebagian lama tercenung, barangkali terharu karena akhirnya bisa melihat langsung karya ekspresionisme termasyhur itu. Satu petugas berdiri di depan kerumunan, memastikan tak ada gerak-gerik pengunjung yang rentan mengusik lukisan mahal itu.
Kedua, ”Les Demoiselles d’Avignon”, karya pelukis Spanyol, Pablo Picasso, tahun 1907. Ukurannya agak besar, 243 cm x× 233 cm. Sesuai judulnya, lukisan memperlihatkan lima pelacur dari rumah bordil di kawasan Avignon. Semuanya ditampilkan dalam gaya kubistis: perspektif yang berantakan, tak akurat, tubuh terserak dalam kubus-kubus, naif, dan mengejutkan. Bukan akurasi yang dikejar, melainkan ketidakterdugaan bentuk yang cenderung primitif.
Ketiga, lukisan Jean-Michel Basquiat, ”Portrait of Glenn”, tahun 1985. Dalam kanvas gede, pelukis bohemian itu menggambar kepala besar mirip topeng dengan mulut terbuka, gigi besar hitam, dan kuping berwarna merah. Ada banyak buku dan catatan yang terserak. Karya ini mewakili karakter visual yang spontan, segar, dan emosional.
Banyak pengunjung mengamati lukisan ini. Ada juga yang mondar-mandir di depannya. Barangkali dia penasaran, kenapa karya yang tampak naif dan asal-asalan ini demikian terkenal dan dihargai tinggi dalam sejarah.
Jelang malam, sepulang jalan-jalan menikmati patung dan museum seni di New York, muncul pertanyaan, apa makna karya seni bagi kota?
Jawabannya kira-kira, seni menawarkan jeda. Saat kesesakan, keramaian, dan kemacaten lalu lintas kota menyergap warga, karya seni bisa menyajikan hiburan, kesegaran, atau ruang bernapas. Lebih jauh, karya seni juga bisa merangsang warga untuk berefleksi tentang kehidupan, diri, manusia, dan lingkungannya.
Ambil contoh patung ”Love” dan ”Hope” tadi. Melihat karya itu, kita diingatkan untuk mencintai sesama manusia dan jangan pernah kehilangan harapan pada kebaikan. Dengan hanya melihat dan mengucapkan dua kata itu saja, kita bisa tersenyum. Bukankah senyum itu sendiri sudah cukup menyegarkan?