Trini Terpikat Songket
Beribu asli Koto Gadang, songket bukan barang asing bagi Trini Tambu. Namun, ia baru menyadari keindahan sekaligus kondisi industri kain ini yang memprihatinkan. Ketika berniat membeli, tidak menemukan lagi pembuatnya.
Trini lahir dan besar di Rumbai, Riau, karena ayahnya yang berasal dari Sri Lanka bekerja di sebuah perusahaan minyak di daerah itu. Di masa kecil, setiap liburan, perempuan bernama lengkap Elstrinijanti Ceferina Tambu (49) ini bersama keluarga akan pulang ke kampung halaman sang ibu di Koto Gadang, sebuah nagari (setingkat desa) di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat.
Tak jarang, mereka kemudian kemping di tepi sungai. Perjalanan dengan mobil ditempuh selama empat jam. Trini menikmati dan cukup mengenal kampung sang ibu. Hingga kini, masih ada beberapa anggota keluarga besarnya yang tinggal di desa tersebut.
Lulus SMA, ia kuliah di Amerika Serikat, lalu pulang ke Tanah Air dan meniti karier di Jakarta. Trini menjadi Direktur Pemasaran BMG Music Indonesia sebelum akhirnya menikah. Setelah mempunyai anak, ia masih meneruskan bekerja, kemudian ”pensiun” dan memilih menjadi ibu rumah tangga serta mengurus ketiga anaknya.
Namun, sebagai ibu rumah tangga, Trini tetap memanfaatkan waktu untuk membangun bisnis sendiri di bidang perhiasan sesuai latar belakang pendidikannya. Ia menyuplai perhiasan ke berbagai resor dan memiliki sebuah toko di Bali. ”Mendingan kerja daripada bengong meskipun kecil-kecilan,” kata Trini.
Suatu ketika, sang ibu mengutarakan maksud hendak meneruskan peninggalan keluarga kepada Trini. Ia pun menyanggupi sepanjang diperbolehkan melihatnya dulu. Kembalilah Trini ke Koto Gadang yang selama 30 tahun, sejak lulus SMA, tidak ia kunjungi. Di kampung halaman itu, Trini kemudian terpikir untuk ”membayar” kebaikan yang pernah ia terima.
Semula, ia ingin mengangkat sulam suji. Namun, kondisi industrinya masih cukup bagus. Terbukti, seorang tantenya yang terjun di bidang ini mendapat pesanan cukup banyak dan mampu mendatangkan penghasilan lumayan baik untuk membantu keluarga.
”Yang bikin saya tersentuh itu tenunnya. Ketika saya tanya, sudah tidak ada lagi yang menenun. Petenun terakhir meninggal beberapa tahun sebelumnya,” kata Trini yang senang mengoleksi kain tradisional.
Penasaran
Trini penasaran. Ia mencari berbagai literatur di perpustakaan dan museum, baik di dalam maupun luar negeri. Hasil yang ia peroleh tidak cukup memuaskan. Tidak seperti batik, tenun terutama dari Koto Gadang tidak banyak ditulis kisahnya. Trini juga mendatangi rumah tenun di sejumlah daerah, seperti Pandai Sikek. Hingga suatu hari, ia bertemu pasangan suami istri asal Swiss, Erica dan Bernhard Bart. Bart adalah arsitek Swiss yang terpikat songket Koto Gadang.
Sejak 1996, Bart melakukan riset tentang songket Koto Gadang yang disebutnya memiliki teknik pembuatan paling sulit di antara semua teknik tenun yang pernah ia kenal, seperti tenun Pandai Sikek, Silungkang, dan tenun dari masa Singosari dan Majapahit. Bahkan, dibandingkan dengan semua teknik di daratan Melayu.
Bart meneliti teknik pembuatan dan motif-motif klasik songket Koto Gadang yang pernah ada melalui foto-foto yang ia ambil dan kumpulkan dari berbagai sumber. Teknik-teknik itu sudah tidak dikuasai lagi oleh warga setempat. Tenun-tenun yang ditemukan di Ranah Minang kebanyakan motifnya sudah disederhankan dari aslinya.
Bart bisa mereka ulang teknik tenun Koto Gadang. Ia kemudian mendirikan studio songket dan melatih beberapa anak muda setempat untuk menenun.
Trini bertemu dengan pasangan Bart pada 2013, dan mereka kemudian sepakat bekerja sama. Dengan latar belakangnya di dunia pemasaran, Trini lebih banyak berperan ke arah penjualan. ”Saya kemudian take over usaha ini dan menamakannya Palantaloom. Bart dan Erica menjadi supervisor kami,” ungkap sulung dari tiga bersaudara ini.
”Palanta”
Palanta dalam bahasa lokal artinya alat tenun, sedangkan loom dari bahasa Inggris berarti menenun. Petenun di Palantaloom adalah pria dan wanita dengan rentang usia 18-30 tahun. Jumlahnya berfluktuasi, yaitu sembilan hingga-13 orang. Mereka sengaja diambil dari yang tidak bisa menenun lalu bekerja di satu tempat yang berlokasi di Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam, tidak jauh dari Bukittinggi.
Agar menarik minat anak muda, Trini memberikan gaji di atas upah minimum regiona (UMR) untuk selembar kain yang dikerjakan. Ia juga memberi uang harian, selain tunjangan hari raya (THR) dan bonus. Mereka juga didaftarkan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, begitu pula dengan keluarga inti, seperti orangtua, saudara kandung, dan anak. ”Kalau enggak begini, enggak menarik. Mereka lebih memilih merantau, bekerja di pabrik,” kata Trini.
Ia selalu berpesan agar para pegawainya tidak lupa menabung. Ia juga mendorong mereka yang masih muda untuk meneruskan sekolah. Trini terlihat sangat bangga ketika bercerita tentang seorang pegawainya yang belum lama ini baru saja diwisuda. Ia memberikan waktu kerja fleksibel kepada mereka yang meneruskan pendidikan atau memiliki anak kecil.
”Silakan saja bawa anak. Mereka bisa main play pen sambil melihat orangtuanya menenun,” lanjut perempuan yang hobi membaca dan memasak ini.
Kain-kain tenun Palantaloom sangat halus dan indah dengan bahan sutra yang dihias dengan benang emas dan perak. Semuanya berbahan impor. Sutra dari China, benang emas dari Perancis, dan benang perak dari India. Trini mengaku hanya menggunakan material terbaik. Kain-kain ini dikerjakan dengan kendali mutu ketat.
Jika terjadi kesalahan, ia akan meminta pekerjanya membongkar dan mengulangi pekerjaan hingga diperoleh hasil prima. Proses pengerjaan sehelai selendang 2-5 bulan. Tidak heran jika harganya pun mahal. Selembar selendang berukuran 70 x 150 cm dihargai paling murah Rp 8 jutaan. Kain berukuran lebih kecil yang dijadikan suvenir Rp 3 jutaan. Sementara yang terbuat dari bahan katun Rp 2 jutaan.
Biasanya, kain suvenir ini merupakan pekerjaan pegawai baru yang masih belajar menenun. Proses menurunkan ilmu menenun dilakukan oleh para petenun senior kepada ”anak baru”. Setelah beberapa bulan, biasanya mereka sudah bisa dilepas.
Pinggiran songket dihiasai bangku renda. Teknik ini dulu hanya dikuasai oleh perajin Koto Gadang, diperoleh dari wanita Eropa karena hubungan baik Koto Gadang dengan mereka. Sejak masa Belanda, orang Koto Gadang menyekolahkan anak-anaknya hingga tinggi, bahkan sampai ke Eropa. Tidak heran muncul tokoh-tokoh seperti Soetan Sjahrir, H Agus Salim, Siti Roehana Kudus, Chairil Anwar, dan Emil Salim dari Koto Gadang.
Songket Koto Gadang berjaya pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Songket Koto Gadang diperjualbelikan hingga ke luar negeri.
Bahan-bahannya seperti benang makau dan sutra china sulit diperoleh pada masa pendudukan Jepang sehingga aktivitas tenun songket makin hilang. Pengetahuan menenun pun berhenti pada nenek dan ibu sehingga banyak motif yang tidak dikenal. Saat muncul kembali, motif yang tampil lebih sederhana.
Sesuai warisan tradisi, dalam satu helai kain bisa terdiri atas 100 macam motif, seperti kaluak paku, itiak pulang patang, makan bajamba, pucuk bambu, dan gunung barisan. Motif-motif ini terinspirasi dari alam sekitar.
”Saya suka kain karena seperti buku sejarah. Kita bisa tahu kehidupan suatu masyarakat di sebuah zaman lewat selembar kain,” kata Trini.
Selain dibeli konsumen dalam negeri, seperti orangtua yang hendak menikahkan anaknya, kain produksi Palantaloom juga dicari kolektor dan museum.
Museum di Cologne, Jerman, Belanda, dan China pernah membeli langsung dari Trini. Kain-kainnya juga pernah dipamerkan di Museum Nasional di Malaysia dan sebuah galeri tekstil di Bern, Swiss, selama tiga pekan.
Saat ini, Palantaloom menghasilkan seri kain ”Pusaka” dengan motif-motif kuno dan klasik, juga seri ”Kini” yang tidak menggunakan benang emas dan perak sehingga bisa mudah dibawa bepergian. Kain dengan benang emas perawatannya tidak mudah, harus digulung saat disimpan agar tidak patah benang emas dan peraknya.
Gara-gara mengurus Palantaloom, Trini jadi sering mondar-mandir ke Sumatera Barat. Tidak lupa ia makan rendang, nasi kapau, dan melatih kembali bahasa Padangnya.
”Mudah-mudahan kehadiran Palantaloom bisa menciptakan pasar dan membangkitkan industri songket di sana secara keseluruhan,” kata Trini.
Elstrinijanti Ceferina Tambu
Lahir: Rumbai (Riau), 14 Desember 1968
Pendidikan: Bsc bidang Bisnis dan Graduate Gemologist dari GIA (Gemological Institute of America)
Pengalaman:
- 2015-sekarang: Pemilik PT Studio Songket Palantaloom
- 2013-sekarang: Co-Founder Triette Store
- 2001-sekarang: Pemilik Trinity Bespoke Jewelry
- 1999: Direktur Pemasaran BMG Music Indonesia