Kemitraan yang Adil antara Korporasi dan UMKM Dibutuhkan
Oleh
Adhi Kusumaputra
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengelolaan bisnis perlu mempertimbangkan aspek hak asasi manusia agar tidak membunuh usaha kecil, merusak lingkungan, dan menindas pekerja. Pola kemitraan yang sehat antara korporasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah dinilai bisa meningkatkan nilai hak asasi manusia di dalam dunia bisnis agar tidak terjadi kesenjangan.
Berdasarkan data yang dihimpun Litbang Kompas, pada 2016 terdapat 1.030 aduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan swasta. Selain itu, terdapat 359 aduan terkait pelanggaran HAM di BUMN dan BUMD di tahun yang sama.
Dirjen HAM, Kemenkumham, Mualimin Abdi, mengatakan, implementasi HAM dalam bisnis setidaknya perlu diterapkan dalam empat bagian, yakni dalam proses kontrak kerja, dalam operasi bisnis yang dijalankan, dalam interaksi dengan masyarakat dan lingkungan sekitar, serta dalam sengketa masalah. Hal itu ia sampaikan dalam seminar peringatan hari HAM sedunia bertajuk "Implementasi Nilai-Nilai HAM dalam Dunia Bisnis di Indonesia" di Jakarta, Senin (10/12/2018).
Menurut Mualimin, pelanggaran HAM oleh korporasi bisa berdampak kepada internal, yakni pemenuhan hak-hak buruh. Selain itu, ada juga dampak eksternal terhadap masyarakat, konsumen, dan lingkungan. Untuk menekan kemungkinan itu, pemerintah telah merancang empat peraturan, yakni Rencana Aksi Nasional HAM 2014-2019, Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM, regulasi bidang pertambangan, dan rancangan RANHAM 2020-2024.
Kesenjangan
Selain hal-hal tersebut, HAM di dalam bisnis juga perlu memandang kesenjangan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil. Ketua Lembaga Pengembangan Usaha Kamar Dagang Indonesia, Raden Tedy, mengatakan, kemitraan antara bank, korporasi, dan UMKM Plasma diperlukan agar tidak terjadi kesenjangan dan pelanggaran HAM dalam dunia bisnis.
Menurut Tedy, hal itu dilakukan agar perusahaan besar tidak menggerus usaha kecil. Sebab, kontribusi UMKM dalam menyerap tenaga kerja nasional sebanyak 97 persen. Selain itu, kontribusi terhadap produk domestik bruto sebanyak 60,34 persen dan berkontribusi pada sektor eksport sebanyak 19 persen.
"Dibutuhkan sebuah sikap keberpihakan untuk melibatkan diri dalam persoalan ini agar tidak terjadi monopoli dagang perusahaan besar," ujar Tedy.
Tedy menambahkan, data kredit UMKM di perbankan terus menurun sejak tahun 2017. Jumlahnya tidak mencapai 20 persen, hanya di kisaran 18,20 persen. Padahal, pemerintah melalui Bank Indonesia mengamanatkan paling lambat 2018 perbankan memberikan kredit minimal 20 persen dari total kredit. Hal itu terjadi karena sektor UMKM memiliki risiko macet kredit tinggi.
Untuk itu, pola kemitraan antara UMKM dan perusahaan korporasi menjadi penting agar UMKM berdaya. Ia mencontohkan, sebuah perusahaan alat berat bisa bekerja sama dengan UMKM dalam penyediaan beberapa suku cadang.
Anggota Komite Ekonomi Industri Nasional, Benny Pasaribu, mengatakan, yang sering menjadi korban hak asasi manusia dalam dunia bisnis adalah masyarakat lemah. Beberapa golongan masyarakat kerap mengaitkan bahwa penanaman modal asing di Indonesia kerap dikaitkan dengan penguasaan asing di Indonesia. Hal itu dianggap melanggar hak asasi manusia dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Benny mengatakan, Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat bahwa penanaman modal asing sepanjang semester pertama tahun ini, investasi langsung ke Indonesia mampu menyerap 491.082 pekerja. Dari nvestasi asing sebanyak 253.498 pekerja dan dari investasi lokal sebanyak 237.584 pekerja.
Hal itu jauh melampaui jumlah tenaga kerja asing di Indonesia. Sebagai informasi, hingga akhir Maret 2018, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia mencapai 89.784 pekerja, sementara tenaga kerja Indonesia yang merantau ke Malaysia mencapai 728 ribu jiwa. Jumlah tenaga kerja asing di Indonesia masih cukup kecil dibandingkan dengan tenaga kerja asing di Malaysia yang mencapai 1,78 juta pekerja.
Benny mengatakan, kehadiran penanaman modal asing secara umum masih sejalan dengan undang-undang. "Pelanggaran HAM dari penanaman modal asing masih terkendali karena ada undang-undang yang mengatur. Di sisi lain, penanaman modal asing di Indonesia dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi," ujar Benny.
Mantan Ketua Komnas HAM, Nur Kholis mengatakan, saat ini tidak ada istilah asing, yang ada saat ini adalah globalisasi. Yang perlu ditekankan dalam dunia bisnis adalah asas HAM. Jika tidak ada keadilan, hubungan bisnis berpotensi adanya pelanggaran hak asasi.
"Di negara ini, kita tidak pernah merubah konstitusi kita sampai hari ini di bidang ekonomi yang menyebutkan koperasi sebagai kekuatan. Dalam koperasi, terjamin hak-hak yang lebih merata untuk menghindari monopoli perusahaan besar di Indonesia. Semangat koperasi perlu diterapkan dalam kerja sama perusahaan besar dan kecil," ujar Nur Kholis. (SUCIPTO)