PONTIANAK, KOMPAS - Praktik investasi di Kalimantan Barat selama ini dinilai banyak diwarnai praktik perampasan tanah warga. Selama ini praktik investasi di tanah-tanah warga hanya menguntungkan pengusaha. Sementara masyarakat hanya menjadi buruh dengan tingkat kesejahteraan yang kian merosot.
Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat menyampaikan masalah itu pada Senin (10/12/2018) dalam rangka memperingati Hari Hak Azasi Manusia Internasional di Bundaran Digulis, Kota Pontianak.
“Kesejahteraan dan penghasilan masyarakat terus menurun akibat hilangnya tanah masyarakat adat dan petani. Tanah mereka dikonversi dunia usaha menjadi investasi perkebunan sawit di berbagai wilayah Kalbar,” ujar Koordinator Front Perjuangan Rakyat Kalbar Azis Fikri dalam orasinya Senin pagi.
Akibatnya angka kemiskinan Kalbar tertinggi se-Kalimantan, yakni 7,78 persen. Tingkat kemiskinan tertinggi berada di perdesaan mencapai 9,16 persen. Tingkat kesejahteraan petani juga merosot yang ditunjukkan dengan nilai tukar petani (NTP) yang terus merosot. NTP Kalbar belum mencapai 100. Bahkan, menunjukkan penurunan, yakni pada Oktober 94,94 dan pada September 94,70. Artinya tingkat kesejahteraan petani kian menurun.
Tanah-tanah para petani dan masyarakat adat telah dikuasai oleh berbagai izin. Untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman (IUPHHK-HT)-hutan tanaman industri (HTI) seluas 2,29 juta hektar. Untuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA)-hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 1,31 juta hektar. Kemudian, perkebunan skala besar kelapa sawit (HGU dan IUP) sekitar 4,36 juta hektar.
“Itulah potret hilangnya tanah-tanah masyarakat. Sementara saat petani dan masyarakat adat ingin mempertahankan hak-hak mereka, cenderung dikriminalisasi. Sulit bagi mereka mempertahankan haknya. Maka, kami meminta hentikan perampasan tanah-tanah masyarakat,” ungkap Azis.
Direktur Lingkar Borneo Agus Sutomo secara terpisah mengatakan, penghasilan perusahaan perkebunan mencapai ratusan triliun rupiah per tahun karena ekspansi terus-menerus. Sementara jutaan masyarakat di sekitarnya hanya menjadi buruh.
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menyebutkan, secara nasional pada 2017 pendapatan devisa ekspor dari minyak sawit mentah (CPO) mencapai 21,25 miliar dollar AS atau sekitar Rp 287 triliun dengan produksi CPO mencapai 37,8 juta ton.
Sementara, dari segi penyerapan tenaga kerja, terdapat sekitar 5,5 juta tenaga kerja dengan luas perkebunan 14,3 juta hektar. Tenaga kerja petani sawit 4,4 juta orang, karyawan 3,4 juta orang, tenaga kerja kebun sawit 7,8 juta orang.
Semakin besar ekspansi perusahaan perkebunan akan semakin meningkatkan serapan tenaga kerja yang mayoritas berasal dari perdesaan. Ekspansi perkebunan memperoleh izin konsesi dari pemerintah. Konsesi perkebunan berada di perdesaan dan wilayah masyarakat adat, sehingga di pastikan masyarakat desa dan adat menjadi buruh di perusahaan perkebunan.
Pantauan Kompas, beberapa tahun terakhir di sejumlah wilayah Kalbar, masyarakat yang kehilangan tanahnya juga kehilangan kemandirian ekonomi. Semula tanah mereka tempat mencari nafkah dan berladang, kini menjadi perkebunan korporasi.
Masyarakat akhirnya terpaksa menjadi buruh di perkebunan. Pusat-pusat investasi bukannya menciptakan kesejahteraan di masyarakat, tetapi malah menciptakan pusat-pusat kemiskinan baru di masyarakat.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.