Indonesia Tingkatkan Peran Perempuan dalam Misi Perdamaian
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia telah menyusun sejumlah inisiatif menjelang tergabungnya dalam anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020. Salah satunya adalah dengan memperluas peran perempuan dalam upaya menjaga perdamaian dunia.
Direktur Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri, Achsanul Habib, mengatakan, Indonesia bertekad menjadi contoh yang baik di dunia internasional perihal pelibatan perempuan dalam pasukan penjaga perdamaian dunia.
“Beberapa persiapan dan pembahasan dengan negara lain kini intens dilakukan, seperti Swedia dan Norwegia,” katanya saat ditemui pada diskusi “Tackling Today\'s Issues and The Role of UNSC" di Universitas Paramadina, Jakarta, Senin (10/12/2018).
Indonesia memang tak sendiri. Sejumlah negara lain juga telah merencanakan untuk menambah peran perempuan dalam misi perdamaian tersebut. Sebab, perempuan cenderung lebih bisa diterima dibandingkan laki-laki di wilayah konflik.
“Perempuan tidak merefleksikan kekuatan yang bertumpu pada militer semata,” ujar Habib.
Perempuan cenderung lebih bisa diterima dibandingkan laki-laki di wilayah konflik.
Indonesia saat ini sedang memenuhi target sebanyak 4.000 pasukan penjaga perdamaian. Namun, hingga kini baru terpenuhi sekitar 3.500 orang. Di dalamnya, jumlah perempuan akan mendominasi.
Menurut Habib, peran perempuan dalam misi perdamaian, nantinya tak hanya sebatas menjaga saja, melainkan juga mampu sebagai bina perdamaian. Hal itu masih terus menjadi topik pembahasan di Markas Besar PBB, New York.
“Jika hanya menjaga perdamaian, perempuan akan cenderung pasif. Tapi kalau menjadi bina perdamaian, dia akan aktif,” katanya.
Pengirim terbanyak
Peneliti dari Department of Politics and International Relations Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani, mengatakan, di antara negara muslim di dunia, Indonesia menjadi salah satu pengirim pasukan perdamaian perempuan terbanyak sejauh ini.
Masalahnya, komposisi perempuan dalam militer dan kepolisian di Indonesia hanya sekitar 4 persen. Harus ada kalkulasi yang tepat terkait pengiriman pasukan karena ada kebutuhan juga untuk dalam negeri.
“Misalnya, saat rekrutmen pun, masa depan mereka harus dipikirkan” ujar Fitriani.
Fitriani menambahkan, persiapan matang menjadi kunci sebelum mengerahkan para perempuan tersebut. Seperti pengetahuan tentang budaya dan bahasa daerah konflik yang dituju atau kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang tidak ramah terhadap perempuan.
Salah satu misi yang diemban para perempuan itu adalah memastikan gencatan senjata di daerah pascakonflik berjalan dengan semestinya. Sehingga masyarakat di wilayah tersebut bisa menjalani kehidupan normal.
“Memastikan mereka bisa bekerja kembali atau memastikan bantuan makanan bisa masuk, misalnya,” tambahnya.
Penyelesaian konflik
Dosen Hubungan Internasional (HI), Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengatakan, momentum bergabungnya Indonesia dalam Dewan Keamanan PBB harus memberi andil terhadap isu yang selama ini dianggap sensitif. Di antaranya, berperan dalam penyelesaian konflik Palestina, Rohingya, dan lainnya.
“Memang akan penuh tantangan. Tapi kami yakin Indonesia punya potensi untuk menjembatani penyelesaian ini,” ujar Umam.
Menurut Habib, hal tersebut memang tidak mudah, mengingat AS hingga kini masih bergeming dengan caranya sendiri. Meski begitu, ada peluang yang bisa dimanfaatkan dengan memberdayakan aliansi masyarakat dunia.
“Kita kan punya Uni-Eropa, Asia-Pasifik, OIC, atau negara kuat lain dalam penyelesaian misi perdamaian ini,” ujarnya. (FAJAR RAMADHAN)