JAKARTA, KOMPAS — Setelah mengantongi sertifikat indikasi geografis, konsistensi menjaga kualitas produk merupakan keharusan. Saat bersamaan, pemerintah daerah dan komunitas masyarakat semestinya memikirkan upaya hilirisasi sehingga produk memiliki nilai tambah.
Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ari Juliano Gema di sela-sela Festival Indikasi Geografis, Sabtu (8/12/2018), di Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat, menceritakan, sejak tahun 2016, pihaknya membantu desain ulang kemasan 36 produk bersertifikat indikasi geografis. Produk tersebut kebanyakan berupa material mentah atau setengah jadi.
Bekraf bekerja sama dengan desainer di bawah naungan Asosiasi Desain Grafis Indonesia (ADGI). Para desainer melakukan riset kearifan lokal di balik produk bersertifikat indikasi geografis. Temuan riset dituangkan ke dalam desain kemasan.
”Kemasan lama cenderung biasa. Padahal, produknya kaya cerita kearifan lokal. Kami minta desain baru di kemasan mampu mencerminkan hal itu,” ujar Ari.
Dia memandang, desain ulang tersebut diharapkan memberikan nilai tambah dan semakin memikat konsumen.
Sesuai data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini terdaftar 72 produk bersertifikat indikasi geografis. Sebanyak 64 produk di antaranya merupakan milik lokal Indonesia.
Deputi Pemasaran Bekraf Joshua Simanjutak mengungkapkan, upaya memberikan nilai tambah terhadap produk sumber daya alam bersertifikat indikasi geografis tidak terbatas pada desain ulang kemasan. Produk tersebut dapat dipakai sebagai material utama untuk diolah lebih alias hilirasasi. Misalnya, menjadi komponen utama memasak kuliner.
Festival Indikasi Geografis diisi kegiatan demo masak yang menggunakan produk alam bersertifikat indikasi geografis, misalnya garam Amed, bandeng Sidoarjo, dan kangkung Lombok. Joshua menerangkan, demo masak ini harus dimaknai sebagai contoh oleh pemerintah daerah ataupun komunitas masyarakat perlindungan indikasi geografis.
”Kalau melihat produk telah mengantongi sertifikat indikasi geografis, konsumen pasti langsung menganggap produk berkualitas dan berstandar. Jika dipakai sebagai material bisnis kuliner, konsumen bakal semakin mengapresiasi,” katanya.
Menurut dia, Bekraf rutin menggelar Creative Food, program pengenalan kuliner khas Nusantara di banyak kota. Bekraf juga bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan untuk mempromosikan kuliner lokal di Trade Expo Indonesia. Dia berharap, dua platform tersebut bisa dimanfaatkan untuk promosi produk hilir dari sumber daya alam bersertifikat indikasi geografis.
Bupati Samosir Rapidin Simbolon mengatakan, pihaknya menggandeng pengelola penginapan untuk mempromosikan kopi arabika Samosir. Cara ini dianggap mempermudah kopi arabika Samosir dikenal dan dijual ke wisatawan.
Kepada calon investor perhotelan, Pemerintah Kabupaten Samosir hanya mengizinkan mereka membangun di daerah hilir perkebunan kopi sehingga kelestarian terjaga.
”Kami perlahan merintis agrobisnis kopi arabika Samosir, seperti memberdayakan petani untuk mengolah biji kopi. Rantai perdagangan biji kopi pun kami jaga. Produk hilir, seperti kafe penyedia minuman kopi, dipakai mendukung bisnis pariwisata di Pulau Samosir,” tutur Rapidin.
Kopi arabika Samosir baru saja mendapat sertifikat indikasi geografis dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Proses pengurusan sertifikat berlangsung 1,5 tahun dan dilakukan oleh pemerintah daerah bersama masyarakat. Per tahun 2017, total lahan perkebunan mencapai 4.913,24 hektar dengan produktivitas 1.056 ton per hektar.
Bupati Solok Gusmal Datuak Rajo Lelo mengatakan, pihaknya tengah mengupayakan mendesain ulang kemasan beras Solok agar tampil lebih menarik pasar nasional. Selama ini, mayoritas hasil produksi baru dipasarkan di sekitaran Sumatera Barat dan provinsi lainnya di Sumatera.
”Keunikan beras Solok terletak pada kualitas rasa dan tidak lengket ketika ditanak menjadi nasi. Siapa pun bisa makan nasi tanpa menggunakan lauk. Keunikan ini kami jadikan sebagai bahan pencitraan di pasar,” katanya.
Beras Solok memperoleh sertifikat indikasi geografis bersamaan dengan kopi arabika Samosir. Selain pengemasan ulang, Gusmal menyebut pihaknya akan menerbitkan peraturan khusus pelarangan pendirian bangunan di areal persawahan.
”Tantangan terbesar di hulu adalah menjaga keberlangsungan pertanian. Jangan sampai areal sawah menyusut. Kemudian, kualitas tanaman padi dipertahankan,” ujar Gusmal.
Sekretaris Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Arabika Java Sindoro-Sumbing Sugianto menceritakan, kopi arabika Java Sindoro-Sumbing mengantongi sertifikat indikasi geografis pada tahun 2014. Sejak saat itu, petani langsung merasakan dampak ekonomi. Misalnya, harga rata-rata green bean naik dari Rp 50.000 per kilogram menjadi Rp 85.000 per kilogram. Harga rata-rata roasted bean basah naik dari Rp 25.000 per kilogram menjadi Rp 45.000 per kilogram.
Meski terkendala keterbatasan alat pengolah biji kopi, kegiatan pemasaran terus berjalan. Sugianto mencontohkan pameran. Kopi arabika Java Sindoro-Sumbing diikutsertakan di berbagai pameran produk khas daerah.
”Kopi arabika Java Sindoro-Sumbing mulanya ditanam untuk tujuan konservasi lahan. Lambat laun malah menghasilkan nilai ekonomi. Setelah mengantongi sertifikat, tujuan konservasi tetap dilakukan sambil terus mendorong petani kompak mematuhi standar kualitas penanaman secara organik,” katanya. (MED)