JAKARTA, KOMPAS—Obat antiretroviral jenis TLE atau kombinasi tenofovir, lamivudine, dan efavirenz di sejumlah daerah menipis bahkan sudah ada yang kosong. Keberlanjutan pengobatan sebagian orang dengan HIV positif pun jadi terganggu. Kejadian ini diduga terkait erat dengan pengadaan obat yang lambat karena dengan gagalnya tender pengadaan obat ARV TLE tahun ini.
ARV Community Officer Indonesia AIDS Coalition, Irwandy Widjaja, mengatakan, sejumlah daerah yang sudah melaporkan menipisnya persediaan ARV TLE adalah Surabaya, Semarang, Tangerang Selatan, Medan. Bahkan, di beberapa daerah seperti Deli Serdang, Makassar, Padang, dan Maluku stok ARV jenis TLE sudah kosong. “Di Deli Serdang sudah empat bulan ARV TLE kosong. Di Medan stoknya menipis tapi di beberapa fasilitas kesehatan sudah tidak ada,” ujarnya, di sela-sela acara Educational Fund International AIDS Society di Jakarta, Minggu (9/12/2018).
Akibat kekosongan itu, orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) akhirnya diberi obat pecahan berupa tenofovir, lamivudine, dan efavirenz sebagai penggantinya. Hal ini membuat ODHA bingung karena tidak semua layanan HIV memberikan penjelasan penggunaan obat pecahannya. Informasi cara mengonsumsi yang diberikan petugas kesehatan pun berbeda. Ada yang menyatakan obat pecahannya cukup dikonsumsi sekali sehari tapi ada yang bilang obat pecahannya dikonsumsi dua kali sehari.
Bahkan, menurut Irwandy, kekosongan obat ARV memiliki dampak jauh lebih besar dari sekadar ODHA menjadi bingung. Obat ARV yang tidak terjamin ketersediaannya akan mengganggu upaya pemerintah sendiri dalam mengejar target 90 persen populasi kunci mengetahui statusnya, 90 persen dari mereka yang mengetahui statusnya menjalani terapi ARV, dan 90 persen dari mereka yang menjalani terapi memiliki jumlah virus (Viral load) yang tidak terdeteksi.
Upaya pencegahan
“Pengobatan dengan ARV merupakan bagian dari pencegahan juga. Dengan pengobatan yang teratur dan disiplin maka virus dalam tubuh ODHA sudah tidak terdeteksi lagi dan tidak bisa menularkan,” kata Irwandy.
Pengobatan dengan ARV merupakan bagian dari pencegahan juga. Dengan pengobatan yang teratur dan disiplin maka virus dalam tubuh ODHA sudah tidak terdeteksi lagi dan tidak bisa menularkan.
Obat ARV jenis TLE merupakan obat gabungan dengan dosis pasti (Fixed Dose Combination/ FDC). FDC memudahkan ODHA dalam mengonsumsinya. Mereka hanya perlu meminumnya sekali sehari. Sementara dengan cara (regiment) yang lama, obat yang diminum pun lebih dari satu, harus diminum dua kali sehari per 12 jam. Efek samping FDC juga dinilai lebih ringan dari cara pemberian yang lama. Pemberian FDC mempermudah ODHA menjalani terapi.
Saat ini diperkirakan ada 640.000 orang dengan HIV positif di Indonesia. Dari jumlah itu, baru sekitar 300.000 orang yang mengetahui statusnya, lebih kurang 90.000 di antaranya masih menjalani pengobatan ARV. Dari jumlah itu, sekitar 48 persennya menjalani terapi dengan menggunakan obat ARV jenis TLE.
Sementara itu, Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Baby Rivona Nasution, menyampaikan, pemerintah seharusnya menjamin ketersediaan semua jenis obat ARV, termasuk ARV untuk anak, jika ingin mencapai target nol infeki baru. Upaya yang dilakukan organisasi masyarakat sipil dan komunitas untuk mengajak populasi kunci melakukan tes HIV bisa terganggu kalau ternyata obat ARV-nya tidak ada.
Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition Aditya Wardhana, menyampaikan, kekosongan obat ARV jenis TLE tidak bisa dilepaskan dari tender obat ini tahun 2018 yang gagal. Hingga sekarang tidak ada perusahaan farmasi yang mengajukan penawaran untuk menyediakan obat ARV FDC jenis TLE. PT Kimia Farma yang selama ini menjadi penyedia ARV maupun PT Indofarma tidak mengajukan penawaran. Ditengarai, harga yang diajukan dua perusahaan itu jauh di atas Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar Rp 165.000 per botol.
Dari sisi serapan anggaran, hal itu mengkhawatirkan. Menurut Aditya, tender yang gagal tahun ini akan membuat anggaran yang disediakan hangus dan anggaran pengadaan obat ARV TLE tahun depan bisa dikurangi sehingga jumlah ODHA yang mengakses pengobatan pun jadi lebih sedikit. Ia juga menduga, gagalnya tender ARV TLE tahun ini menjadi cara untuk menutupi dugaan korupsi pada tender ARV TLE tahun 2016.