Transparansi Finansial Hambat Finalisasi Draf
KATOWICE, KOMPAS—Draf Buku Panduan atau Rule Book untuk pelaksanaan Kesepakatan Paris yang disebut Katowice Outcome belum memberikan penjabaran yang lengkap dan jelas tentang aturan transparansi finansial dan dukungan pendanaan bagi negara berkembang. Selain itu draf tersebut belum memenuhi prinsip keseimbangan kepentingan negara maju dan berkembang dalam aksi perubahan iklim.
Penilaian itu dilontarkan Nur Masripatin selaku Natioanl Focal Point Indonesia untuk UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), Minggu (9/12/2018), di Katowice Polandia.
Draf Katowice Outcome ini disiapkan Wakil Ketua Kelompok Kerja Ad Hok untuk Kesepakatan Paris atau Ad Hoc Working Group on the Paris Agreement (APA). Draft ini akan dibahas pada Pertemuan Tingkat Mentri, mulai Senin (10/12/2018) dan ditargetkan Rule Book Katowice ini dapat disyahkan pada Kamis (14/12/2018).
Sementara itu, ribuan orang di pelataran dekat Spodek Arena Kutawice Polandia tempat sidang COP24 berunjuk rasa sebagai bagian dari gerakan global March for Climate "Wake up! It\'s Time to Save Our Home!. Aksi para pendemo mendesak penutupan arus trem menuju kotawice dr seluruh penjuru dr luar kotawice.
Pada Climate March ini, masyarakat sipil seperti terpampang pada spanduk dan poster yg mereka bawa berisi desakan agar para Kepala Negara dan politisi melakukan upaya serius menangani perubahan iklim. Kita tidak memiliki waktu kemewahan lebih lama untuk segera mengatasi perubahan iklim dengan mengoreksi model pembangunan ekonomi yang berjalan saat ini. “Perubahan sistem, bukan perubahan iklim!!"
Di antara para aktivis lingkungan itu nampak anggota WALHI-Friends of the Earth Indonesia. Pada momentum COP 24 ini, WALHI menyuarakan berbagai fakta persoalan dan krisis lingkungan hidup dan perubahan iklim yang terjadi di tingkat tapak. "Problem skala lokal ini terkait dg masalah global. Indonesia salah satunya," ujar Yuyun Harmono, Pengkampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional WALHI.
"Hingga putaran COP 24 ini, belum ada upaya yang signifikan dari para pihak, untuk mengoreksi model pembangunan dunia yang konsumtif yang memicu krisis iklim. Report IPCC terbaru menunjukkan ancaman yang begitu nyata yang harus dialami akibat jika suhu bumi tidak ditahan di bawah 1,5 derajat celcius. Kelangkaan air, krisis pangan dan dampak kesehatan yang akan dialami oleh penduduk bumi, ujarnya.
Tahap kritis
Pertemuan COP Ke-24 itu menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya merupakan tahap penting dan kritis karena membahas dan mengesahkan Rule Book sebagai petunjuk teknis bagi pelaksanaan Kesepakatan Paris pada tahun 2020, yang dalam hal ini hanya tinggal setahun tahap persiapannya.
Lebih lanjut, Nur yang juga menjadi Ketua Perundingan Indonesia pada COP24 UNFCCC menjelaskan pandangan delegasi Indonesia terhadap draft Katowice Outcome itu telah disampaikan Jumat (7/12/2018) pada sidang pleno APA yang dihadiri 197 negara. Sidang ini bertujuan untuk menginventarisasi atau Stoctaking naskah akhir Rule Book yang akan dibawa pada Pertemuan Tingkat Menteri tersebut. Finalisasi penyiapan draft itu masih dilakukan APA hingga Minggu (9/12/2018).
Keseimbangan
Katowice Outcome harus berlaku untuk semua negara dengan menganut prinsip yang sama antara negara maju dan berkembang. Namun harus dibedakan tingkat tanggung jawabnya karena adanya tingkat kemampuannya pun berbeda, antara lain dalam hal kemampuan finansial dan penguasaan teknologi. “Katowice Outcome harus seimbang, koheren dan lengkap. Ini menjadi tujuan kolektif semua negara untuk mewujudkan Perjanjian Paris menjadi tindakan nyata,” tegas Nur.
Rules Book Katowice harus komprehensif, yang memungkinkan semua pihak dengan beragam keadaan nasional, kapasitas dan kemampuan untuk menerapkan dalam konteks nasional, lanjutnya. Karena itu negosiasi yang dilaksanakan sejak Kesepakatan Paris bertujuan untuk memenuhi aspek kelengkapan, keseimbangan, dan proses yang transparan dan inklusif.
“Kami melihat pentingnya Transparancy Framework (kerangka kerja yang transparan/TF ) dalam buku aturan Paris Agreement ini. Dalam hal ini, Indonesia ingin melihat MPG (Modality Procedure and Guideline) yang komprehensif dan seimbang untuk TF antara elemen dalam tindakan dan dalam dukungan”, lanjut Nur.
Dalam draft tersebut, menurut Muhammad Farid, anggota negosiator, tidak ada penjabaran lebih lanjut petunjuk pelaksanaan terhadap artikel ke 13 pada Kesepakatan Paris, yang menyebutkan tentang transparansi dan dukungan aksi iklim dari negara maju terhadap negara berkembang. Keengganan kelompok negara maju untuk transparan dalam komitmen alokasi pendanaan bagi aksi perubahan iklim dan penyalurannya terlihat dari keberatan mereka mengubah kata “shall” (akan) menjadi ”should” (harus) dalam hal transparansi tersebut.
Siti menyampaikan sistem tranparansi yang juga akan diatur di COP 24 ini diperlukan karena semua aktifitas mitigasi dan adaptasi perlu pengakuan internasional dibawah regime UNFCCC.
Nur Masripatin yang sekaligus ketua negosiator mengatakan transparansi kerangka kerja yang membangun prinsip transparansi, akurasi, kompherensif dan omparative merupakan bagian sangat penting dalam negosiasi COP 24 karena berkaitan dengan pengukuran, pelaporan dan verifikasi pada aksi mitigasi dalam pencapaian target NDC . kalau tidak lolos MRV yang diatur UNFCCC ini maka upaya mitigasi tidak akan diakui.
Penilaian perkembangan\
“Selama seminggu proses pembahasan ini, Indonesia memiliki sejumlah pandangan berbeda tentang Program Kerja Kesepakatan Paris, yang tampaknya sulit diselesaikan dalam waktu yang tersedia”, lanjut Nur.
Isu yang menonjol terkait implementasi NDC (Nationally Determined Contributions) atau kontribusi tiap negara untuk pengurangan emisi gas rumah kaca dan menahan kenaikan suhu bumi hingga 1.5 derajat Celsius, membutuhkan upaya keras untuk accounting, pelacakan progress serta aspek fleksibilitas. Dalam hal ini dibutuhkan kesepakatan di antara Para Pihak mengenai pendefinisian fleksibilitas dan penerapannya.
Farid menambahkan fleksibilitas antara lain diperlukan dalam penetapan pilihan atau alternatif untuk aksi perubahan iklim antara lain dalam metode pengukuran emisi GRK. Pilihan disesuaikan dengan kesanggupan masing-masing negara.
Perampingan draf
Dalam sidang pleno Indonesia dan beberapa negara menyoroti tentang “perampingan” draf Rule Book namun dengan menghapus sejumlah elemen penting. Perubahan signifikan telah dilakukan pada iterasi terakhir, baik dalam struktur maupun substansi.
Diungkapkan Farid, elemen yang dihapus adalah tentang finansial tambahan dan perbedaan tanggung jawab berbasis kemampuan nasional antara negara maju dan berkembang. Ini artinya kelompok negara maju tidak akan memberikan dana tambahan diluar yang telah disepakati.Sejak pertemuan di Kopenhagen tahun 2009 telah ditetapkan finansial sebesar 100 juta dollar AS pertahun atau 100 miliar dollar AS. Namun hingga kini belum ada realisasinya.
Perbedaan pandangan dari para pihak harus dicari solusinya untuk mencapai kesepakatan bersama. “Karena itu, sangat diperlukan fleksibilitas serta kesediaan berkompromi untuk mencapai hasil Katowice sebagaimana diamanatkan dalam Perjanjian Paris,” harap Nur.
Demikian juga halnya bantuan luar negeri untuk mencapai target 41 persen akan susah kita dapatkan karena harus performance based. Ia juga menyebutkan bahwa negara maju lebih duluan membangun sistem MRVnya pada saat menerapkan kewajibannya mereka melalui Kyoto protovol yang dijalankan dari 1994 sampai 2018. Mereka harus membagi teknologi membangun sistem itu.
Sementara itu dalam peninjauannya ke lokasi persidangan di Spodek Arena Kutawice Siti menekankan agar Delegasi Indonesia berkontribusi pada solusi untuk perumusan modalitas, prosedur dan guideline atau implementasi Kesepakartan Paris terutama terkait Nationally Determined Contribution (NDC).
Pemerintah Indonesia telah menargetkan penurunan emisi 29 persen bersama dengan kementerian terkait dan telah menyepakati simpul kegiatan prioritasnya. Persiapan yang dilaksanakan Indonesia saat ini, ujar Siti masih on the track termasuk pencatatan semua kegiatan melalui Sistem Registri Nasional. Kita harus mendorong dan menjadi bagian solusi dalam negosiasi pedoman pelaksanaan NDC yang akan diputuskan di hari terakhir oersidanga COP24.
Ruandha Agung Sugardiman selaku Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim menambahkan melalui Sistem Registrasi Nasional (SRN) sejak diluncurkan Menteri LHK pada 1 November 2016 hingga kini telah terdaftar 1177 aksi mitigasi diseluruh Indonesia, oleh para pemangku kepentingan termasuk pemda dan swasta. Bahkan di dalam SRN ini juga dapat diperoleh informasi berbagai kegiatan adaptasi dan mitigasi kerjasama dengan luar negeri, jelasnya.