Indonesia Siapkan Rencana Pembangunan Rendah Karbon
Oleh
Yuni Ikawati dari Polandia
·4 menit baca
KATOWICE, KOMPAS – Menjelang penerapan Kesepakatan Paris pada tahun 2020, Indonesia menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang bersifat rendah karbon. Rencana pembangunan selama lima tahun ini disusun dalam rangka mengantisipasi target Indonesia dalam Paris Agreement, yaitu harus mengurangi emisi 26 persen pada tahun 2020 dan 29 persen pada 2030.
Hal ini disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, Selasa (11/12/2018), di sela-sela Konferensi Para Pihak (COP) Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Ke-24 di Katowice, Polandia.
Hal ini disampaikan terkait dengan paparannya pada diskusi tentang Low Carbon Development: Paradigma Shift Towards a Green Economy, Senin (10/12/2018), di Spodek Arena Karowice, Polandia. Diskusi di Paviliun Indonesia ini juga menghadirkan Menteri Lingkungan Hidup Polandia Henry Kowalczyk, Dirjen Global Green Growth Institute Frank Rijjsberman, Wakil Menteri Luar Negeri Costarica dan Presiden Bank Investasi Eropa Werner Hoyer, dan CEO Sustainable Energy for All and Special Representative of the UN Secrertary General Rachel Kyte.
Dalam rencana pembangunan lima tahun mendatang, lanjut Bambang, fokus Indonesia pada program pengurangan emisi pada sektor kehutanan dan energi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca, yaitu masing-masing 17 dan 11 persen hingga tahun 2030. Meskipun begitu untuk mencapai target perencanaan ini harus melihat semua sektor tidak parsial. Untuk pembangun rendah karbon di sektor energi, Indonesia akan mendorong pemanfaatan energi terbarukan dan moda transportasi rendah hingga tanpa emisi karbon, dalam hal ini mobil listrik.
Namun dalam pembangunan yang ramah lingkungan hidup ini tidak mengorbankan pertumbuhan ekonomi. “Jadi rendah karbon disusun agar tidak ada trade off atau saling meniadakan antar pertumbuhan ekonomi dengan upaya konservasi dan lingkungan hidup,“ ujarnya.
Keseimbangan ekonomi-ekologi
Sementara itu Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya di tempat terpisah juga mengatakan perlu keseimbangan sektor ekonomi dan ekologi. Di sektor kehutanan yang berkontribusi terbesar dalam penurun emisi karbon mencapai 17 persen sampai 2030 pemanfaatan hasil hutan untuk kegiatan ekonomi tetap dilakukan, namun dengan cara-cara yang ramah lingkungan.
Kontribusi mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, juga menjamin kesehatan dan produktivitas ekosistem dan memberikan keuntungan lingkungan dan sosial. Proyek pembangunan yang dilaksanakan tidak hanya berorientasi untuk meningkatkan pendapatan semata tapi juga pertumbuhan ekonomi hijau yang berkaitan dengan komitmen nasional pengurangan emisi (Nationally Determined Contribution/NDC) dan pembangunan berkelanjutan.
Upaya ke arah keseimbangan antara ekonomi dan ekologi terus dilakukan di sektor energi, lanjut Bambang. Karena biaya produksi per unit per kilo watt hour energi terbarukan makin lama makin murah untuk semua energi terbarukan,” katanya.
Selain itu lembaga keuangan dari dalam dan luar negeri yang masuk dalam bisnis energi terbarukan makin banyak. Dengan makin banyak suplai dari pendanaan ini akan membuat biaya pendanaan atau investasi di bidang energi terbarukan lebih murah.
Indonesia mempunyai target pada penggunaan atau suplai energi di Indonesia pada tahun 2025 sebesar 23 persen berasal dari energi terbarukan, saat ini baru sekitar 7 persen. "Pada tahun 2025 kemungkin kita masih meleset di bawah target tetapi kalau sudah menemukan tingkat kecepatan yang lebih baik, barangkali 2030 bisa terkejar,” kata Bambang.
Karena itu menuju tahun 2025 atau hingga tujuh tahun mendatang ini Indonesia perlu kerja sangat keras mulai dari sekarang. “Diharapkan pada 2030 kita sudah on track untuk memperbanyak energi terbarukan dan energi mix,” papar Bambang.
Upaya luar biasa dari pemerintah menurut Bambang terutama dalam mendorong investor energi terbarukan untuk masuk. Saat ini masalah harga energi listrik misalkan banyak yang membuat investor energi terbarukan tidak nyaman maksudnya harga beli dari PLN. Selain itu belum ada komitmen dari PLN dan ESDM memasukkan energi terbarukan di daerah terpencil. Karena tanpa komitmen seperti ini akan sulit.
“Pemerintaah memang harus memberikan listrik kepada seluruh warga negara di mana mereka berada. Diketahui daya beli dari masyarakat di daerah terpencil tidak terlalu tinggi. Namun listrik harus diarahkan ke sana dengan harga terjangkau,” urai Bambang.
Dalam rencana pembangunan kedepan, langkah transisi paling kritikal adalah mengganti semua pembangkit listrik tenaga diesel dengan energi terbarukan. Hal ini tidak akan merugikan karena harga diesel itu sudah pasti lebih mahal dari pada harga energi terbarukan apapun, apakah dari surya angin biomassa. Jadi, lanjut Bambang sudah saatnya yang pasti untuk daerah yang terisolasi pulau pukau terpencil harus fokus dulu dengan energi terbarukan, dan diesel diminimumkan.