Kesempatan untuk Membangun Desa
Jumlah desa tertinggal, sesuai data Potensi Desa, berkurang dari 19.750 desa tahun 2014 menjadi 13.232 desa tahun 2018.
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan hasil pendataan Potensi Desa 2018, Indeks Pembangunan Desa menunjukkan perbaikan status desa. Desa tertinggal berkurang 6.518 desa jika dibandingkan dengan 2014. Sementara desa mandiri bertambah 2.665 desa.
Pengucuran dana desa sejak tahun 2015 dinilai membuka kesempatan bagi desa untuk memaksimalkan potensinya. ”Kami berharap jumlah desa mandiri ke depan akan semakin banyak,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto di Jakarta, Senin (10/12/2018).
Indeks Pembangunan Desa (IPD) disusun dari lima dimensi yang terdiri atas 42 indikator yang diukur dengan skala 0-100. Kelima dimensi itu ialah pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, transportasi, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintah desa. Dari tahun 2014 ke tahun 2018, IPD naik 3,65 poin; dari 55,71 menjadi 59,36.
Dari kelima dimensi, dimensi penyelenggaraan pemerintah desa pada pendataan tahun 2018 naik paling tinggi dibandingkan dengan tahun 2014, yakni 9,81 poin menjadi 71,40. Indikatornya antara lain penerimaan desa meningkat, desa memiliki sekretaris desa, dan pendidikan kepala desa minimal SMA. Sementara dimensi IPD dengan kenaikan paling rendah adalah pelayanan dasar yang mencakup akses pendidikan setingkat SMA, akses ke apotek, dan akses ke rumah sakit.
Pelayanan dasar naik 0,92 poin dari 56,73 menjadi 57,65. Sementara dimensi IPD lainnya, yakni pelayanan umum, naik 1,88 poin; transportasi naik 3,5 poin; dan kondisi infrastruktur naik 5,42 poin.
Secara geografis, sebaran desa tertinggal paling banyak berada di Pulau Papua, Maluku, dan Papua. Di Provinsi Papua, jumlah desa tertinggal mencapai 87,12 persen dan di Papua Barat sekitar 82,03 persen. ”Persoalan besar di sana adalah kondisi geografis desa-desa yang sangat sulit dijangkau. Maka, perlu keberpihakan untuk mengatasi ketertinggalan pembangunan di Indonesia timur,” ujarnya.
Salah satu potensi desa yang dipetakan BPS adalah pariwisata. Keberadaan desa wisata ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Pendataan Potensi Desa 2018 mencatat 1.734 desa atau kelurahan wisata yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Namun, potensinya dinilai lebih besar dari angka itu.
Dana desa
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo mengatakan, dana desa yang dikucurkan sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo berperan penting dalam mengangkat ekonomi desa. Dana dikucurkan agar pembangunan semakin merata.
Sejak 2015 sampai 2018, sekitar Rp 187 triliun sudah dikucurkan pemerintah pusat ke desa. Hal ini dinilai tidak mudah karena kebanyakan desa tidak memiliki kapasitas untuk mengelola dana yang besar. Namun, kata Eko, pengelolaan dana diperbaiki. Hal itu tecermin dari serapan dana desa yang membaik, yakni dari 82,72 persen tahun 2015 menjadi 97,65 persen tahun 2016 dan 98,54 persen tahun 2017. Pada tahun ini, penyerapan diharapkan bisa mencapai 99 persen.
Meskipun dana desa bukan satu-satunya faktor penggerak ekonomi di desa, lanjut Eko, masyarakat desa memiliki kesempatan mengelola potensi desanya dengan dana desa, seperti mengembangkan desa wisata.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati berpendapat, dengan banyaknya dana yang digelontorkan pemerintah ke desa, jumlah desa tertinggal sudah pasti berkurang. Namun, indikator dalam IPD justru belum menunjukkan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
”Berkurangnya desa tertinggal itu pasti. Kalau tidak malah aneh. Tetapi, jika dilihat dari IPD, peningkatan dimensi pelayanan dasar tidak signifikan. Padahal, itu menurut saya utama. Yang besar justru penyelenggaraan peningkatan desa. Berarti yang meningkat malah terkait administratif,” kata Enny.
Besarnya dana desa yang dikucurkan diharapkan dibarengi program yang memberikan nilai tambah desa. Dengan demikian, aktivitas desa terbentuk.
Besarnya dana desa yang dikucurkan diharapkan dibarengi program yang memberikan nilai tambah desa. Dengan demikian, aktivitas desa terbentuk. Indikatornya adalah berkurangnya arus urbanisasi atau penyerapan tenaga kerja di desa meningkat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng berpendapat, selama empat tahun ini, kebanyakan kepala desa hanya menjadi pelaksana program pemerintah. Masih sedikit kepala desa yang inovatif dan membuat terobosan sesuai kebutuhan desa. Hal ini makin berat jika melihat kondisi desa di luar Jawa, terutama Papua, Maluku, bahkan Nusa Tenggara Timur.
”Dana sudah ada, tetapi akselerasi pembangunan lambat. Maka dicari kepala desa yang inovatif karena mereka kunci perubahan desa,” ujar Endi.