JAKARTA, KOMPAS – Pemanfaatan energi terbarukan mutlak dibutuhkan untuk menunjang pemenuhan rasio elektrifikasi di Indonesia. Upaya ini sekaligus sebagai pemenuhan komitmen penurunan emisi dalam dokumen kontribusi nasional terkait Perjanjian Paris. Namun, berbagai tantangan masih ditemui. Salah satunya, koordinasi lintas sektor yang belum optimal.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Adrian Febi Misna menyampaikan, sinergisitas dan koordinasi dari seluruh pemangku kepentingan sangat berpengaruh pada percepatan elektrifikasi nasional melalui energi terbarukan.
“Selama ini (pemangku kepentingan) sudah berjalan, tetapi masih berjalan sendiri-sendiri karena punya target yang berbeda. Jadi, sekarang harus dipastikan kita menuju tujuan yang sama. Koordinasi antarkementerian, lembaga, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat pun akan diperkuat,” ujarnya dalam acara forum solusi listrik desa (solid) di Jakarta, Senin (10/12/2018).
Selama ini (pemangku kepentingan) sudah berjalan, tetapi masih berjalan sendiri-sendiri karena punya target yang berbeda.
Forum Solid merupakan inisiatif dari Dirjen EBTKE bersama Lembaga Kerja Sama Internasional Jerman (GIZ) yang bertujuan untuk mempromosikan elektrifikasi off grid (sistem listrik yang tidak terhubung dengan jaringan besar) yang berkelanjutan. Selain itu, forum ini juga menjadi wadah koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, PT PLN, swasta, asosiasi, akademisi, serta lembaga donor dalam mengembangkan elektrifikasi pedesaan yang berkelanjutan.
Menurut Director GIZ Energy Programme For Indonesia/ASEAN Rudolf Rauch, pemenuhan listrik berbasis energi terbarukan off grid sesuai dengan wilayah Indonesia yang kepulauan. Jika menunggu jaringan utama dari PLN, upaya pemenuhan listrik nasional membutuhkan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama.
“Energi terbarukan bisa dikembangkan bukan hanya matahari, tetapi bisa berbasis tenaga angin, air, dan biomassa. Semua itu bisa ditemui di Indonesia dan potensinya sangat besar. Jika tidak dimanfaatkan, artinya Indonesia membuang-buang sumber energi yang ada,” katanya.
Pada April tahun 2018, rasio elektrifikasi di Indonesia mencapai 96,63 persen. Namun, rata-rata rasio elektrifikasi di daerah tertinggal pada tahun 2014 masih jauh di bawah rata-rata nasional, yakni sebesar 69,99 persen.
Perencana Muda Direktorat Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Pedesaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rayi Paramita mengatakan, kendala pemenuhan elektrifikasi di pedesaan dan daerah berbasis energi terbarukan off grid masih dijumpai. Kendala itu seperti, rendahnya kemampuan keuangan masyarakat untuk operasional dan perawatan.
"Kendala lain yaitu keterbatasan suku cadang peralatan di daerah tertinggal dan terpencil untuk penggantian kerusakan material. Biasanya, kalau peralatan sudah rusak akan mangkrak dan tidak dipakai lagi,” katanya.
Untuk itu, pelatihan dan fasilitas pelatihan harus tersedia untuk mendidik dan mengkualifikasi teknisi muda di daerah. Kemampuan sumber daya manusia dan kelembagaan sektor publik dan swasta di tinggal nasional dan regional pun perlu ditingkatkan untuk menjamin keberlanjutan ketenagalistrikan berbasis energi terbarukan di Indonesia.