Korupsi Ancam Demokrasi
Korupsi mengancam kepercayaan rakyat terhadap lembaga demokrasi. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa memicu perlawanan terhadap demokrasi.
JAKARTA, KOMPAS - Praktik korupsi yang membuat aspirasi dan kepentingan masyarakat terkalahkan oleh kepentingan elite akhirnya bisa merusak kepercayaan masyarakat kepada lembaga negara, memperlebar kesenjangan, dan memperparah polarisasi warga. Kondisi ini bisa menurunkan partisipasi warga serta membuka peluang bagi munculnya pandangan populis ekstrem.
Terganggunya kepercayaan kepada lembaga negara ini mulai terlihat dalam sejumlah survei di Indonesia. Survei Litbang Kompas pada 5-6 Desember 2018 menunjukkan, hanya 46,13 persen responden yang percaya bahwa lembaga legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) masih memikirkan rakyat. Sementara itu, kepercayaan terhadap partai politik dan tokoh-tokohnya 41,33 persen.
Kajian International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), yang dituangkan dalam Global State of Democracy (2017), mengindikasikan korupsi dan pembajakan kebijakan sebagai faktor yang menurunkan kepercayaan warga kepada politisi. Kondisi ini akhirnya akan berdampak negatif terhadap partisipasi politik warga. Hilangnya kepercayaan terhadap politisi ini sangat akut pada kalangan pemuda.
Dari tiga provinsi dengan kasus korupsi terbanyak yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara, dua provinsi di antaranya punya nilai komponen hak-hak sipil yang lebih rendah daripada rata-rata nasional. Berdasarkan indeks demokrasi 2017, nilai pemenuhan hak-hak sipil di Jawa Timur adalah 60,98, sedangkan Sumatera Utara nilainya 62,29 dan Jawa Barat 71,02. Sementara itu, rata-rata pemenuhan hak sipil tingkat nasional ialah 66,63.
Hak sipil ini mencakup sejumlah indikator, seperti hak memilih dan dipilih serta pengaduan masyarakat mengenai penyelenggaraan pemerintahan.
Menghambat masyarakat
Pendiri Kelas Muda Digital, Resa Temaputra, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (10/12/2018), mengatakan, korupsi membuat sebagian anak muda malas dan muak dengan sistem politik karena dinilai tidak bersih. ”Korupsi dinilai menghambat masyarakat, memberikan pelayanan yang tidak setara. Tidak ada transparansi dalam sistem,” kata Resa.
Dalam beberapa kasus korupsi yang diusut KPK terlihat bahwa aspirasi masyarakat bisa dengan mudah dikalahkan oleh kepentingan pemodal. Fenomena ini terlihat dari korupsi yang melibatkan anggota DPRD secara masif di Kota Malang serta Provinsi Sumatera Utara. Pembahasan APBD juga memerlukan uang pelicin yang sebagian berasal dari pihak swasta yang punya kepentingan. KPK juga beberapa kali mengungkap suap di institusi peradilan terkait dengan perkara.
Peneliti politik dari Departemen Politik Universitas Indonesia, Panji Anugrah, menuturkan, korupsi merusak sistem politik demokrasi karena menggerus legitimasi eksekutif, legislatif, yudikatif, serta institusi pemilu. Ini karena korupsi membuat masyarakat mempertanyakan produk kebijakan yang dihasilkan lembaga-lembaga negara tersebut.
Dalam jangka panjang, korupsi juga mengganggu sistem ekonomi. Korupsi merampok keuangan negara sehingga negara tidak bisa meredistribusikan sumber daya secara merata kepada rakyat. Akibat selanjutnya, kesenjangan di masyarakat melebar dan polarisasi makin menjadi. Dalam kondisi seperti ini, menurut Panji, kesempatan bagi munculnya sosok-sosok populis yang menawarkan perlawanan terhadap elite akan membesar.
”Populisme itu bisa menyatukan ideologi kiri dan kanan, menawarkan ide alternatif yang sifatnya tidak programatik dan impulsif. Minimnya kepercayaan kepada sistem dan elite bisa dieksploitasi oleh pemimpin populis,” tutur Panji.
Momentum perbaikan
Untuk mencegah kerusakan yang semakin parah terhadap fondasi demokrasi, diperlukan perubahan yang besar dan melibatkan banyak pihak. Veri Junaidi dari Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif menilai, Pemilu 2019 bisa menjadi momentum bagi masyarakat untuk teliti memilih orang yang akan mewakili mereka di parlemen.
Hasil survei Litbang Kompas juga mengindikasikan masih adanya peluang masyarakat tetap aktif pada Pemilu 2019. Kendati ada ketidakpercayaan pada legislatif dan parpol, 90 persen responden tetap berkeinginan ikut pemilu.
Koordinator Forum Masyarakat Sipil Malang Lutfhi J Kurniawan menuturkan, kasus seperti yang menjerat elite politik di Kota Malang bisa dijadikan momentum pengingat bagi elite politik untuk menjauhi korupsi.
Pada saat yang sama, transparansi juga harus selalu diperkokoh untuk melindungi demokrasi dari korupsi. Wawan Suyatmiko, Manajer Riset Transparency International Indonesia, mengingatkan, korupsi muncul di dalam ruang gelap sehingga pelibatan pengawasan oleh publik dan keterbukaan menjadi komponen penting untuk mencegahnya.