MRT, Kekuatan Pembentuk Ruang Kota yang Lebih Baik
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran moda raya terpadu (MRT) dinilai sebagai potensi untuk membentuk ruang kota dengan penataan kawasan berorientasi transit (TOD). Perencanaan kawasan berorientasi transit ini harus dimulai sejak dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah.
Direktur Pemanfaatan Ruang dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Dwi Hariyawan mengatakan, pengembangan kawasan berorientasi transit (TOD) perlu masuk perencanaan tata ruang perkotaan setidaknya dari rencana tata ruang wilayah (RTRW). Sebab, TOD merupakan sebuah sistem struktur ruang perkotaan secara menyeluruh.
”Kenapa harus masuk tata ruang agar nantinya lebih mudah pengembangannya, tidak berbenturan dengan izinnya dengan lainnya,” katanya dalam diskusi panel ”Building Jakarta Upward” yang diselenggarakan Jakarta Property Institute dan Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung di Jakarta, Senin (10/12/2018).
Tanpa memasukkannya dalam RTRW, ada kekhawatiran juga TOD akan berkembang secara mozaik atau tanpa kesinambungan satu dengan lainnya. Kawasan berorientasi transit merupakan kawasan permukiman yang memadukan berbagai kelas ekonomi, dilengkapi dengan sarana dan prasarana publik, mempunyai fasilitas pejalan kaki yang sangat baik, dan berada di simpul transportasi massal, setidaknya satu jarak dekat dan satu jarak jauh.
Untuk pengembangan TOD ini, pemerintah pusat sudah menerbitkan payung hukum dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit. Dalam peraturan menteri tersebut sudah dijelaskan secara detail syarat TOD, lokasi, hingga tipologinya.
Kawasan berorientasi transit prinsipnya adalah kawasan terpadu yang mengutamakan pejalan kaki dan penggunaan transportasi umum massal berbasis rel. Sebab, saat ini baru transportasi umum massal berbasis rel yang mempunyai daya angkut cukup besar.
Menurut Dwi, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2017 itu dulunya terbit atas desakan DKI Jakarta yang sudah berencana mengembangkan TOD. Selain Jakarta, sasaran pengembangan TOD adalah sembilan kota besar yang sudah masuk kawasan metropolitan lainnya.
Associate Director PDW Architect Gito Wibowo mengatakan, kehadiran MRT merupakan kekuatan untuk membentuk kota. Moda MRT ini perlu dipandang sebagai instrumen untuk menata ruang, bukan sekadar infrastruktur transportasi kota.
Selama ini, Jakarta juga sudah mempunyai KRL. Namun, KRL ini baru diperlakukan sebagai infrastruktur transportasi massal yang memindahkan orang, tetapi belum dimanfaatkan untuk penataan ruang kota. ”Kalau MRT ini selesai hanya sampai pembangunannya, betapa rugi Jakarta dan pengembangnya,” katanya.
Pengembangan kawasan yang berpotensi ekonomi besar ini juga dapat menjadi insentif bagi perusahaan pengembang infrastruktur transportasi massal. Dengan demikian, minat untuk mengembangkan infrastruktur transportasi massal ini terus berkembang.
Apabila perusahaan pengembang mendapat keuntungan dari operasionalisasi moda transportasi saja, dikhawatirkan akan membuat minat pengembangan infrastruktur transportasi massal itu rendah karena sisi ekonominya rendah.
Pengembangan TOD dengan masuknya transportasi berbasis rel tersebut juga dapat membuat harga hunian di Jakarta semakin terjangkau. Sebab, hunian dalam TOD dibuat secara vertikal.
Penyediaan hunian yang terjangkau semakin mendesak bagi Jakarta. Tahun 2015, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani masalah permukiman, UN Habitat, mencatat bahwa Jakarta termasuk ke dalam 10 kota dengan kepadatan tertinggi di dunia, yaitu dengan 9,600 orang per kilometer persegi. Di tahun yang sama, Badan Pusat Statistik DKI Jakarta juga mencatat setiap harinya ada 1,4 juta pelaju dari daerah atau kota di sekitar Jakarta.
Sementara itu, dosen Arsitektur Universitas Indonesia, Joko Adianto, mengatakan, kunci utama mewujudkan TOD adalah memperbaiki dulu fasilitas pejalan kaki. Di Jakarta masih banyak fasilitas pejalan kaki yang membuat orang enggan beralih berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum massal. Dari jembatan mencapai halte yang terlalu tinggi, minimnya fasilitas penyeberangan, hingga trotoar yang mendadak hilang.