Pemberian Kompensasi untuk Korban Teroris Terhambat Aturan
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mekanisme pemberian kompensasi bagi para korban terorisme terhambat oleh peraturan pemerintah yang belum disahkan. Pemerintah didorong untuk segera mengesahkan peraturan tersebut. Sebab, kompensasi adalah bentuk kehadiran negara terhadap para korban.
Pemerintah mengesahkan undang-undang (UU) yang mengatur pemenuhan hak korban terorisme pada Juni 2018. UU yang dimaksud adalah UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.
UU tersebut dinilai masih problematik. Sebab, dalam UU itu, mekanisme pemberian kompensasi bagi korban diatur oleh peraturan pemerintah (PP). Namun, PP yang dimaksud belum disahkan.
”UU tersebut butuh PP untuk implementasi. Sementara itu, ada batas waktu yang diatur oleh UU agar korban bisa dipenuhi haknya. Untuk memperoleh kompensasi, para korban hanya memiliki waktu tiga tahun sejak UU disahkan,” Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida) Hasibullah Satrawi, Selasa (11/12/2018).
Pengesahan PP sangat penting bagi para korban lama, yaitu orang-orang yang menjadi korban terorisme sebelum UU Nomor 5 Tahun 2018 disahkan. PP tersebut akan memberi penjelasan lebih lanjut tentang beragam persyaratan yang harus dipenuhi korban lama, seperti persyaratan administratif. Pengesahan PP yang berlarut-larut dikhawatirkan memperpendek waktu para korban untuk memperoleh kompensasi.
Para korban lama harus menempuh proses panjang guna mendapat kompensasi. Korban harus mengajukan sejumlah dokumen kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memperoleh surat keterangan korban. Surat itu menjadi kunci bagi penetapan pengadilan untuk memperoleh kompensasi.
Di sisi lain, para korban baru bisa memperoleh kompensasi melalui mekanisme yang berbeda, yaitu melalui putusan pengadilan. Korban baru yang dimaksud ialah orang yang menjadi korban terorisme setelah UU Nomor 5 Tahun 2018 disahkan.
Hasibullah mengatakan, para korban terorisme layak untuk segera memperoleh kompensasi. Mereka dinilai sebagai korban yang kebetulan terdampak atas serangan yang sebenarnya ditujukan pada negara.
”Percepatan pengesahan PP adalah cermin keadilan dan kehadiran negara bagi para korban,” katanya.
Terlaksana sebagian
Selama ini, pemenuhan hak korban terorisme sudah terlaksana sebagian. Sejumlah korban tercatat sudah memperoleh pelayanan medis, psikologis, dan psikososial dari LPSK. Namun, pemberian kompensasi belum berjalan.
”Kami harap PP bisa mengakomodasi dan menjawab pemenuhan hak-hak bagi para korban,” kata Hasibullah.
Harapan yang sama dilontarkan oleh Ketua Yayasan Penyintas Indonesia Sucipto. Penyintas tragedi bom di Kedutaan Australia pada 2004 itu berharap perjuangan para penyintas selama puluhan tahun tidak berakhir mengecewakan.
”Kami harap negara hadir dan memperhatikan korban. Selama puluhan tahun kami diberi bantuan oleh pihak lain, seperti Pemerintah Australia dan sejumlah NGO asing,” kata Sucipto.
Masih dibahas
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, pembahasan draf rancangan PP tengah dibahas. Pembahasan melibatkan sejumlah pihak, seperti Badan Nasional Pencegahan Terorisme serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
”Sudah kami bahas secara intensif (peraturan pemerintahnya). Kami harap pengesahannya tidak bersamaan dengan PP lain. Bahkan, kalau bisa PP itu disahkan lebih cepat. Semakin lama PP disiapkan, akan mengurangi waktu korban untuk memperoleh kompensasi,” kata Semendawai.
Ia mengatakan, pengesahan PP dilakukan maksimal satu tahun setelah UU Nomor 5 Tahun 2018 disahkan. Namun, ia berharap pengesahan PP dapat dilakukan lebih cepat. (SEKAR GANDHAWANGI)