BOGOR, KOMPAS — Masyarakat berhak mendapat lingkungan yang bersih dan sehat. Ketentuan dalam rencana umum tata ruang dan rencana tata ruang wilayah bahwa setiap wilayah minimal harus memiliki 30 persen ruang terbuka hijau belum menjamin hak masyarakat itu terpenuhi. Karena itu, pemerintah harus paham daya dukung alam dalam memberikan izin pembangunan di wilayahnya. Ketika terjadi banjir dan longsor, itu tanda daya dukung alam wilayah sudah kritis.
Demikian antara lain terungkap dalam seminar ”Eksposes Kolaborasi Penyelamatan Hulu DAS Ciliwung” yang diselengarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor (IPB), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, dan Konsorsium Save Puncak di Aula Chynchona Argowisata Gunung Mas, Cisarua, Kabupaten Bogor, Senin (10/12/2012). Seminar dihadiri aktivis dan masyarakat yang selama ini berjuang menyelamatkan ataupun merehabilitasi kawasan Puncak/Cisarua.
Didit Okta, peneliti ekologi dari LIPI dan juga dosen IPB dan aktif dalam P4W IPB, mengatakan, lingkungan hidup yang baik, yaitu bersih dan sehat, adalah kunci untuk mengembangkan wilayah. Ini artinya, pemerintah daerah harus paham akan daya dukung alam wilayahnya. Yang terjadi, pembangunan dilaksanakan atau izin membangun diberikan tanpa ada riset ataupun penelitian daya dukung alam wilayahnya.
”Kalaupun ada, asal ada saja. Padahal, selain jumlah populasi penduduk, setiap bangunan didirikan atau dibangun memiliki konsekuensi terhadap daya dukung alam, bagaimana keberlanjutan ketersediaan air bersih, oksigen, dan lahan prodsuksi,” katanya.
Pembangunan dilakukan tidak saja untuk meningkatkan pendapatan secara ekonomis, tetapi juga meningkatkan lingkungan hidup yang baik, bersih, dan sehat.
Karena itu, lanjutnya, kini dikenal apa yang disebut green infrastructure, membangun sarana untuk mempertahankan ataupun meningkatkan daya dukung alam. Pembangunan dilakukan tidak saja untuk meningkatkan pendapatan secara ekonomis, tetapi juga meningkatkan lingkungan hidup yang baik, bersih, dan sehat.
Dalam meningkatkan daya dukung alam ini juga, tambah Didit Okta, pembangunan ruang terbuka hijau tidak difokuskan pada melestarikan satu kawasan hutan atau hijau saja, tetapi harus juga merata di wilayah tersebut.
Pengotak-ngotakan, kata Didit, misalnya bagian wilayah ini untuk kawasan hutan dan bagian lainnya untuk kawasan industri, yang lainnya untuk pemukiman, perlu dikritisi. Sebab, kebutuhan akan udara bersih, oksigen yang cukup, diperlukan di semua wilayah. Itu sebabnya perlu dibangun hutan kota yang fungsinya diharapkan dapat memasok kebutuhan udara bersih atau oksigen di kota tersebut.
”Saat ini belum ada riset tentang daya dukung alam atau berapa luas lahan hutan yang dibutuhkan suatu wilayah. Keharusan suatu wilayah memiliki 30 persen ruang terbuka hijau dari luas wilayahnya, ini asal ada angkanya saja. Angka itu juga muncul diambil dari dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang antara lain mengamanatkan 30 persen wilayah daerah aliran sungai harus berupa hutan. Padahal, setiap wilayah memiliki jumlah penduduk dan kondisi alam yang berbeda-beda, yang memengaruhi daya dukung alam,” papar Didit.
Thomas Oni Veriasa, Manager Program Pemulihan Ekosistem di Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung P4W IPB, mengatakan, sampai saat ini pun pihaknya belum mempunyai data valid kebutuhan atau luas ideal ruang terbuka hijau ataupun hutan di kawasan hulu Ciliwung yang berada di wilayah Bogor dan Cianjur. Yang baru dilakukan adalah identifikasi masalah kerusakan lingkungan di kawasan Puncak.
Dari 3.899 hektar luas kawasan yang disurvai dan diteliti, ditemukan 374 hektar termasuk lahan kategori kritis. Seluas 740 hektar lagi berpotensi kritis. Untuk memudahkan merehabilitasi kawasan lahan kritis tersebut, P4W juga sudah memetakan lokasi dan jalan untuk menuju lokasi tersebut.
”Jadi, kalau pemerintah atau siapa pun yang berminat atau tergerak untuk menghijaukan kembali atau merehabilitasi lahan kritis itu, tidak perlu mencari-cari lagi lokasinya. Pembuatan peta ini juga agar tidak terjadi lagi penghijauan kawasan Puncak sekadar seremonial, yang penanamannya di lokasi itu-itu saja, tanpa hasil. Sebab, setelah ditanam tidak dirawat, bahkan dicabut kembali untuk keperluan seremonial peninjauan berikutnya,” tutur Thomas.
Walaupun belum ada data berdasarkan riset daya dukung alam, lanjut Thomas, ketika di suatu wilayah atau kawasan kerap terjadi banjir dan longsor, itu indikasi bahwa daya dukung alam sudah kritis.