JAKARTA, KOMPAS – Indonesia sebagai negara yang rentan terhadap bencana alam, dirasa perlu memanfaatkan manajemen bencana berbasis teknologi. Khususnya mengintegrasikan data dari berbagai instansi ke dalam suatu pusat informasi.
Executive Product Manager Huawei Indonesia, Arri Marsenaldi, merekomendasikan kepada pemerintah untuk membentuk sebuah pusat informasi bencana antar instansi.
“Huawei menitikberatkan pada empat poin penting yaitu pencegahan, peringatan dini, penanganan, dan pemulihan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Menurutnya, pencegahan bisa dilakukan dengan memetakan daerah yang rawan terhadap bencana dan melengkapinya dengan teknologi sensor. Selain itu, demografi wilayah juga penting untuk dikaitkan untuk mengetahui luas daerah dan jumlah penduduk yang terdampak bencana.
Sensor yang terpasang nantinya bisa membantu memberikan peringatan dini. Huawei juga merekomendasikan untuk menggunakan telekomunikasi berbasis Internet of Things seperti e-LTE.
“Karena seringkali kalau ada bencana, komunikasi dari operator seluler cenderung akan terputus,” tambah Arri.
Arri menambahkan, upaya penanganan dan pemulihan daerah bencana, selanjutnya akan lebih efisien. Informasi yang diberikan pemerintah kepada tim atau korban di lapangan juga tidak simpang siur dengan adanya Pusat informasi darurat.
Regional Technical Support West Nusra Huawei Indonesia, Kadek Agus Dwi Putrawan, mengisahkan pengalamannya saat menangani kerusakan jaringan telekomunikasi pasca gempa bumi di Lombok. Kerusakan tersebut menyebabkan masyarakat mudah menerima informasi yang tidak jelas.
“Banyak orang yang berlarian ke gunung dan juga ke pantai. Informasi yang mereka dapatkan berubah-ubah,” kata Kadek.
Belum terintegrasi
Menurut Arri, saat ini Indonesia sebenarnya telah memiliki sejumlah instansi yang menyediakan data-data mengenai kebencanaan. Namun, masing-masing instansi tersebut belum terintegrasi ke dalam sebuah pusat informasi dengan baik.
Arri menambahkan, jika integrasi data antar instansi dipadukan ke dalam sebuah sistem informasi, mitigasi bencana bisa lebih optimal. Data tersebut misalnya, daerah rawan dan tanda-tanda bencana dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
“Jika data dari semua instansi digabungkan ke dalam sebuah sistem, upaya pencegahan hingga penanganan akan lebih efisien,” ujar Arri.
Arri menambahkan, penerapan mitigasi bencana alam berbasis teknologi sudah dikembangkan oleh beberapa negara. Mereka memiliki sebuah pusat informasi bencana. Ada lebih dari 100 kota yang sudah memanfaatkannya.
“Setidaknya ada lebih dari 30 negara yang sudah mengembangkan ini,” kata Arri.
Sensor minim
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengakui sensor peringatan dini daerah rawan bencana saat ini masih minim. Sehingga belum semua ancaman bisa disampaikan kepada masyarakat dan pemerintah.
“Misal sensor deteksi longsor di Indonesia setidaknya baru terpasang 300-400 unit. Padahal kebutuhannya ratusan ribu unit. Begitu juga sensor banjir,” ungkapnya saat dihubungi di Jakarta.
Menurutnya, anggaran menjadi permasalahan utama untuk pengadaan sensor tersebut. Baik dari pusat maupun daerah. “Keterlibatan pihak swasta untuk memasang sensor tersebut juga masih minim,” ujar Sutopo. (FAJAR RAMADHAN)