Perolehan Sertifikasi Halal Jangan Sampai Rugikan UMKM
Oleh
Ayu Pratiwi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal berpotensi merugikan pelaku usaha yang produknya tidak bersertifikat halal. Sebagian besar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah belum memiliki sertifikat halal karena tidak memiliki keuntungan yang mencukupi untuk membiayainya.
Kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) mulai berlaku pada Oktober 2019. Artinya, pelaku usaha yang produknya belum memperoleh sertifikat halal hingga saat itu dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.
”Kita harus berhati-hati dengan UU JPH ini. Jangan sampai peraturan ini menjadi alat pembunuh massal UMKM,” kata Lukmanul Hakim, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dalam acara bedah buku Mere(i)butkan Sertifikasi Halal oleh Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Halal Ikhsan Abdullah di Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Ia mencatat, dari sekitar 3,6 juta pelaku UMKM yang didata Badan Pusat Statistik (BPS), baru ada sekitar 30.000 UMKM yang memperoleh sertifikat halal. Biaya sertifikasi mencapai Rp 1,5 juta untuk perusahaan menengah ke atas. Untuk perusahaan mikro dan kecil, pemerintah memberikan bantuan sehingga mereka hanya membayar 10 persen atau Rp 150.000.
”Jadi, beban negara untuk sertifikasi halal sebanyak Rp 1,35 juta dikali 3,6 juta pelaku UMKM. Selain itu, diperlukan juga 25.000 auditor. Sementara itu, kita tinggal punya waktu 11 bulan hingga UU JPH berlaku,” ungkap Lukmanul.
Menurut Ikhsan, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai instansi yang berwenang menerapkan kebijakan UU JPH hingga saat ini belum melakukan banyak hal dalam mempersiapkan implementasi UU JPH.
”BPJPH belum melakukan kerja sama dengan MUI sehingga tidak mampu melahirkan satu pun auditor halal. Untuk jadi lembaga pemeriksa halal diperlukan auditor yang mendapatkan sertifikasi dari MUI,” ujar Ikhsan.
Menurut dia, persiapan pelaksanaan UU JPH tidak dapat dilakukan sendiri oleh BPJPH mengingat waktu yang tersisa hanya 11 bulan hingga UU JPH berlaku. Untuk itu, Ikhsan menyarankan agar LPPOM MUI diperkuat melalui peraturan presiden demi memastikan pelaksanaan UU JPH dan menjamin kepastian izin usaha.
Rachmat Hidayat, Wakil Ketua Umum Kebijakan Publik dan Hubungan Antarlembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, menyampaikan, pengusaha Indonesia sadar bahwa produk Indonesia harus sesuai dengan nilai halal mengingat mayoritas warga Indonesia beragama Islam.
”Konsumen adalah raja dan mayoritas warga Indonesia adalah Islam. Jadi, aspek halal penting sekali,” ucap Rachmat. Menurut dia, UU JPH penting dalam memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa produk itu benar-benar halal.