JAKARTA, KOMPAS - Persepsi publik terhadap korupsi saat ini hanya terbatas pada kasus-kasus yang besar karena spektrum pemberitaan media yang terus menerus mewartakan penangkapan pimpinan daerah dan pejabat legislatif. Akibatnya, gratifikasi dan korupsi kecil-kecilan atau petty corruption untuk mendapatkan pelayanan publik kerap masih dilakukan oleh masyarakat tanpa disadari.
Hal itu dipaparkan dalam "Rilis Survei Nasional: Tren Persepsi Publik tentang Korupsi di Indonesia," yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia di Jakarta, Senin (10/12). Dalam paparan tersebut, hadir peneliti senior LSI Burhanuddin Muhtadi, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang, Deputi II Kantor Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho, dan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo.
Dari survei terhadap 2.000 responden yang dipilih secara acak dengan margin error kurang lebih 2,2 persen, diperoleh sebanyak 61 persen orang beralasan memberi uang agar urusannya cepat selesai. Kemudian 14 persen lainnya memberikan uang karena khawatir prosesnya dipersulit. Menariknya, sebesar 10 persen bahkan memberi tanpa diminta karena warga menilai hal itu sudah biasa dilakukan memberi untuk pelayanan publik.
“Pemberian pungutan liar (pungli) dan gratifikasi tersebut berkaitan dengan pelayanan kesehatan, pengurusan administrasi kependudukan seperti Kartu Tanda Pendudu (KTP), Kartu Keluara (KK), dan akta kelahiran, masuk ke sekolah negeri, menjadi pegawai pemerintah, hingga berurusan dengan polisi. Sekali lagi, ada yang memberikan tanpa diminta. Tapi ada juga yang memang diminta (uang),” ujar Burhanuddin saat memaparkan hasil survei.
Menurut Burhanuddin, fenomena ini terjadi karena masyarakat tidak memahami bahwa gratifikasi dan pungli tersebut masuk dalam ranah korupsi yang dapat dijerat dengan hukum. Salah satunya di kepolisian, sebanyak 35 persen mengaku pernah diminta uang atau hadiah, lalu 26 persen lainnya diminta uang di pengadilan, dan sebanyak 17 persen lagi memberi dana untuk mengurus administrasi kependudukan.
"Zero tolerance" tak Jalan
Lebih jauh, Saut menegaskan kondisi permisif ini terjadi karena prinsip dasar zero tolerance yang tidak berjalan. “Persoalan zero tolerance itu menjadi penting. Contoh titip absen itu salah, mereka sadar tapi tetap dilakukan karena tidak ada sanksi dan dianggap wajar saja. Di perguruan tinggi, banyak ditemukan panitia acara memberi stempel dulu di laporan pertanggungjawabannya. Ini \'kan sudah salah tapi, ya dibiarkan saja. Dari dulu orang sudah zero tolerance. Tetapi, mau besar, mau kecil (pemberian) itu tetap korupsi,” kata Saut.
Adnan menambahkan, persoalan ini juga merupakan dampak dari definisi korupsi yang dalam undang-undang memiliki makna yang sempit. “Dalam konteks UU pemberantasan korupsi, yang ditarik hanya pengertian korupsinya. Kolusi dan nepotisme tidak bisa masuk. Padahal semestinya itu bagian yang tidak dapat dipisahkan. Jadi, persepsinya sekarang menjadi minor, hanya uang-uang saja. Padahal korupsi tidak terbatas pada uang dan orang-orang besar saja,” tutur Adnan.
Untuk itu, Yanuar menegaskan, pihaknya tengah menggenjot agar Rancangan Peraturan Pemerintah Pengendalian Gratifikasi dan aturan penguatan Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) segera diteken. KSP tengah menginisiasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik. “Sekarang ini sudah revolusi industi 4.0, tapi korupsinya sebenarnya masih 2.0. Itu pun masih susah dicegah, Jadi, kami harus berkembang,” ujar Yanuar.
Secara keseluruhan, responden berpandangan kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi masih perlu ditingkatkan. Pasalnya, hanya 44 persen responden yang menilai penegakan hukum terhadap pelaku korupsi membaik dan 43 persen responden lainnya menilai pencegahan korupsi juga membaik.
Sementara tingkat kepercayaan publik masih berada pada KPK sebesar 85 persen. Disusul kepada Presiden sebesar 76 persen dan Mahkamah Agung (MA) sebesar 66 persen. Sedangkan partai politik menjadi salah satu yang terendah dengan capaian 45 persen responden.
Meski demikian, 69 persen masih yakin dengan keseriusan pemerintah memberantas korupsi. “Pedang pemberantasan korupsi memang sudah harus dipegang oleh Presiden dan saling bersinergi,” kata Saut.