A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
·4 menit baca
Dalam pidato akhir tahun di Library of Congress Amerika Serikat (AS), Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde menyerukan 2019 sebagai awal dari age of ingenuity. Berbagai persoalan global belakangan ini memerlukan kerja sama yang cerdas, inovatif, dan orisinil. Pendekatan ini penting untuk mengatasi prospek perekonomian global yang melambat, tumbuh makin tak seimbang, serta penuh ketidakpastian.
Tantangan 2019 kompleks. Laporan triwulanan IMF, World Economic Outlook (edisi Oktober 2018) menurunkan proyeksi pertumbuhan global 2019, dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen, akibat stagnasi perdagangan global. The Economist edisi akhir tahun The World in 2019 mengulas situasi global yang rapuh, tak saja dari sisi ekonomi, tapi juga politik, bahkan peradaban.
Di tengah pertemuan G-20 di Argentina, Presiden Trump dan Presiden Xi membuat kesepakatan yang melegakan semua pihak tentang penundaan penerapan tarif. Namun pada saat yang sama, terjadi penangkapan Meng Wanzhou, direktur keuangan sekaligus anak pendiri Huawei Technologies Co. dengan tuduhan pelanggaran bisnis terkait sanksi AS kepada Iran. Ada banyak spekulasi berkembang, termasuk dugaan sabotase Washington terhadap gencatan senjata perang dagang yang dibuat Trump di Argentina. Dengan demikian, isu perang dagang hanyalah pintu masuk negosiasi masalah yang lebih besar, yaitu dominasi teknologi yang diyakini akan menentukan posisi hegemoni ekonomi-politik global.
Dampak pada Domestik
Dinamika perekonomian domestik tak bisa dilepaskan dari situasi global, sehingga perlu instrumen untuk meminimalkan dampaknya. Ada dua jalur transmisi gejolak global pada perekonomian domestik, yaitu jalur keuangan dan perdagangan. Tekanan paling cepat dan mudah masuk dari keuangan, sementara jalur perdagangan lebih lambat, namun tak kalah mematikan.
Sumber tekanan sektor keuangan ada tiga. Pertama, normalisasi kebijakan moneter AS yang ditandai kenaikan suku bunga, yang pada 2019 diproyeksikan mencapai 3-3,5 persen. Kedua, pengurangan beban neraca Bank Sentra AS, The Fed, yang diprediksi akan melepas aset lebih dari 500 miliar dollar AS pada dua tahun mendatang. Ketiga, kebijakan fiskal pro-siklus pemerintah AS yang ditandai peningkatan defisit diikuti penerbitan surat utang pemerintah dalam jumlah besar.
Dari jalur perdagangan, sumber utamanya adalah perang dagang AS-China disertai pola kebijakan protektif hampir seluruh kawasan. Penundaan 90 hari penerapan kenaikan tarif impor dari China -dari 10 persen menjadi 25 persen- yang melibatkan nilai impor 200 miliar dollar AS tak menurunkan ketidakpastian.
Situasi ini membuat peta rantai pasok global berubah yang diikuti pergeseran pola perdagangan dan pertumbuhan kawasan. Dampak nyata dari perang dagang AS dan China adalah migrasi industri berorientasi ekspor dari China ke berbagai kawasan, seperti Vietnam, Thailand, dan Taiwan.
Mencermati perkembangan situasi dan prospek ekonomi pada 2019, perlu disiapkan berbagai skenario kebijakan, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang. Pertama, instrumen suku bunga masih akan diperlukan jika pasar keuangan bergejolak pada 2019. Untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed, suku bunga acuan Bank Indonesia diperkirakan masih naik lagi pada 2019. Instrumen jangka pendek diperlukan agar rambatan dinamika global pada perekonomian domestik melalui jalur keuangan bisa dimitigasi.
Kedua, insentif pajak diperlukan sebagai penyangga, agar siklus perekonomian tak surut terlalu dalam. Paling dekat, instrumen ini untuk memompa kinerja ekspor yang melempem akibat perang dagang.
Ketiga, instrumen fiskal juga bisa difokuskan pada upaya mendorong stimulus agar modal asing masuk lebih banyak dalam bentuk penanaman modal asing langung. Paket kebijakan XVI, yang salah satu isinya adalah tax holiday bagi penanaman modal asing (PMA) sudah dilakukan. PMA diperlukan untuk menutup kekurangan modal di dalam negeri, agar cadangan devisa dan neraca pembayaran tak tergerus sehingga menimbulkan goncangan pada nilai tukar.
Keempat, paket kebijakan struktural yang berorientasi meningkatkan produksi dalam negeri guna menambah penerimaan ekspor. Selain tax holiday, paket kebijakan XVI juga mengatur kewajiban penempatan Devisa Hasil Ekspor pada rekening domestik serta penghapusan 54 sektor usaha dari Daftar Negatif Investasi. Meski terjadi polemik, namun arahnya tetap mempermudah investasi asing langsung.
Kelima, konsolidasi paket kebijakan perlu dilanjutkan, agar produktivitas ekonomi domestik membaik, ditandai peningkatan ekspor produk manufaktur.
Perekonomian domestik 2019 masih akan mengalami gejolak dari sisi eksternal, sementara dari sisi internal kelemahan mendasar ditunjukkan dengan defisit neraca transaksi berjalan yang kian dalam. Untuk itu, agenda pokok 2019 adalah menutup defisit melalui peningkatan ekspor produk manufaktur ke pasar non-tradisional. Diharapkan, defisit mengecil hingga kisaran 2,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Untungnya, ruang fiskal masih aman, dengan defisit 1,8 persen pada 2019. Dengan begitu, jika pada paruh kedua 2019 pelambatan ekonomi lebih parah, stimulus fiskal bisa dimainkan dengan cara memperlebar defisit fiskal secara proporsional, tanpa meningkatkan profil risiko. Situasinya memang sulit, namun sejauh ini kita relatif siap menghadapi tahun ketidakpastian (global) 2019.