Kedai Kopi di Kota Medan, Sumatera Utara, kerap muncul sebagai ruang kepublikan. Tempat itu tak hanya menjadi ruang bagi pengunjungnya untuk menikmati kopi, namun juga bertukar pikiran tentang berbagai hal, termasuk isu politik dan korupsi.
Hal itu, antara lain dilakukan Herman Sembiring (45) dan tiga temannya saat berada di sebuah kedai kopi di Jalan Jamin Ginting, Medan, Senin (10/12/2018). Mereka duduk mengelilingi meja kayu. Di sebuah dinding di dekat mereka, tampak dua foto, yakni foto Presiden Pertama RI Soekarno dan foto pemilik kedai. Di dekat kedua foto itu, ada sebuah kalender dengan gambar calon anggota DPR RI dengan warna yang lebih mentereng.
Sambil menikmati kopi, Herman mengaku tertarik dan kerap memperbicangkan isu politik, terutama terkait pilkada dan pemilu. Namun, kekecewaannya terhadap politik terus terakumulasi. Harapannya terkubur karena hampir semua Wali Kota Medan yang dipilih secara langsung, kecuali Dzulmi Eldin yang kini menjabat, berakhir di penjara.
Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan Abdillah-Ramli Lubis ditangkap KPK pada 2008 karena korupsi pengadaan mobil pemadan kebakaran. Wali Kota Medan periode 2010-2015 Rahudman Harahap, juga diproses hukum karena korupsi.
Dua Gubernur Sumut yang dipilih secara langsung juga bernasib sama. Gubernur Sumut Syamsul Arifin ditangkap KPK pada 2010 karena kasus korupsi APBD saat ia menjabat Bupati Langkat. Gubernur Sumut kedua yang dipilih secara langsung, yakni Gatot Pujo Nugroho, juga diproses hukum KPK karena tiga kasus korupsi yakni suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, suap DPRD Sumut, serta korupsi dana hibah dan bantuan sosial. Sebanyak 50 anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019 juga terlibat korupsi bersama Gatot.
Maraknya kasus korupsi di Sumut jadi salah satu sebab rendahnya partisipasi pemilih. Partisipasi pemilih pada Pemilihan Wali Kota Medan 2015 hanya 25,3 persen. Pada Pilgub Sumut 2008, partisipasi warga Kota Medan hanya 47,10 persen, kemudian turun menjadi 36,58 persen pada Pilgub 2013. Baru pada Pilgub Sumut 2018, partisipasi pemilih di Kota Medan naik jadi 58,38 persen. Namun, partisipasi ini masih di bawah partisipasi rata-rata di Sumut yang mencapai 64,2 persen.
Herman jadi salah seorang yang tidak menggunakan hak suaranya pada Pemilihan Wali Kota Medan 2015. “Dua wali kota, seorang wakil wali kota, dan dua gubernur yang dipilih secara langsung akhirnya masuk penjara juga. Untuk apa saya memilih lagi?” tanyanya.
Apatisme
Komisioner KPU Sumut Benget Silitonga mengatakan, partisipasi pemilih yang rendah dipengaruhi oleh kasus korupsi yang menimpa elite politik hasil pemilihan langsung. “Hasil wawancara kami dengan pemilih, faktor utama yang membuat mereka tidak menggunakan hak pilihnya adalah kasus korupsi yang terus berulang,” katanya.
Sistem rekrutmen di partai politik yang tak melibatkan masyarakat, ikut membuat pemilih apatis. “Parpol menerjemahkan partisipasi politik masyarakat hanya saat di bilik suara. Padahal, partisipasi masyarakat seharusnya dimulai sejak penjaringan calon untuk pilkada atau pemilu legislatif,” ujar Benget,
Secara terpisah, Burhanuddin Muhtadi, peneliti Lembaga Survei Indonesia menyampaikan, 83 persen responden di salah satu survei yang dilakukan LSI, meyakini demokrasi adalah bentuk pemerintahan dan sistem politik yang terbaik. Namun, 52 persen responden menilai korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir.
Lalu apakah hal ini membuat publik meragukan demokrasi dan enggan terlibat dalam prosesnya yang salah satunya lewat pemilu atau pilkada? Burhanuddin menuturkan pengaruhnya tidak secara langsung. Masyarakat akan merasa teralienasi karena merasa sistem politik yang ada tak memberi perubahan pada mereka. “Sebagian dari mereka yang merasa teralienasi oleh sistem politik ini, salah satunya karena faktor korupsi, lalu memilih golput," katanya.
Fenomena berbeda
Kondisi berbeda terlihat di Provinsi Banten. Gubernur Banten 2007-2014 Atut Chosiyah ditangkap KPK karena kasus korupsi. KPK juga menjerat adik Atut, Tubagus Chaeri Wardhana. Namun, pada Pemilihan Gubernur Banten 2017, partisipasi pemilih di Banten terbilang sedang, yakni 63 persen dari total 7,7 juta pemilih terdaftar. Dalam pemilihan itu, putra Atut, Andika Hazrumy yang jadi calon wakil gubernur meraih suara terbanyak bersama calon gubernur Wahidin Halim.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Fadli Ramadhanil menuturkan, perbedaan antara relasi antara korupsi dan partisipasi pemilih di Medan dan Banten, bisa disebabkan oleh faktor sosio demografis penduduknya. Medan bisa dikatakan sebagai daerah perkotaan dengan pemilih yang memilih apatis karena merasa beberapa kali kepala daerah yang dipilih, justru terlibat korupsi.
“Di Banten, kendati ada kasus korupsi, partisipasi pemilih tetap tinggi. Ini bisa jadi karena ada identifikasi kepartaian atau preferensi politik yang kuat untuk memilih. Bisa juga karena ada mobilisasi oleh kekuatan politik berpengaruh,” kata Fadli.
Selain itu, menurut Abdul Hamid, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, masyarakat Banten pada umumnya masih menyikapi korupsi dengan biasa.“Anggapan bahwa korupsi itu memiskinkan, menyebabkan jalan rusak, dan sekolah roboh, belum ada dalam benak mayoritas masyarakat Banten,” ujarnya.
Hamid menuturkan, pernah mengadakan survei mengenai politik uang pada Pilkada Kabupaten Serang tahun 2015. “Kami ingin tahu, masyarakat memilih sesuai hati nurani atau tidak. Mayoritas malah mengambil uang dan memilih sesuai permintaan orang yang memberinya,” katanya.
Jika sudah begitu, bagaimana cara memutus mata rantai korupsi yang merusak demokrasi ini?