JAKARTA, KOMPAS—Kementerian Kesehatan menyatakan ketersediaan obat antiretroviral jenis kombinasi TLE atau tenofovir, lamivudine, dan efavirenz di beberapa daerah mencukupi. Obat yang tersedia saat ini berasal dari pengadaan oleh Global Fund. Harapannya, stok obat tersebut akan cukup sampai beberapa bulan ke depan.
Direktur Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu, Senin (10/12/2018), menyampaikan, obat yang diadakan oleh Global Fund tersebut sebanyak 220.000 botol. Obat tersebut akan cukup untuk memenuhi kebutuhan pengobatan orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) sampai Maret 2019. "Kemenkes juga mengajukan tambahan 29.000 botol untuk kebutuhan hingga Juni 2019," ujarnya.
Kemenkes juga mengajukan tambahan 29.000 botol untuk kebutuhan hingga Juni 2019.
Diperkirakan ada 640.000 orang dengan HIV positif di Indonesia. Dari jumlah itu, baru sekitar 300.000 orang yang mengetahui statusnya, lebih kurang 90.000 di antaranya masih menjalani pengobatan ARV. Dari jumlah itu, sekitar 48 persennya menjalani terapi dengan menggunakan obat ARV jenis TLE.
Hal itu berbeda dengan pernyataan Irwandy Widjaja, ARV Community Officer Indonesia AIDS Coalition yang selama ini memantau situasi kecukupan ARV di 23 kabupaten/ kota di 12 provinsi. Sebelumnya, Irwandy menyampaikan, dirinya mendapat laporan menipisnya stok ARV dari sejumlah daerah di Indonesia sejak beberapa bulan terakhir antara lain, Deli Serdang, Medan, Surabaya, Makassar, Semarang, dan Maluku.
Karena stok ARV jenis kombinasi TLE menipis, ODHA diberi ARV pecahannya, bukan kombinasi. Selain membingungkan mayoritas ODHA, pemberian obat ARV pecahan dari kombinasi TLE akan mengganggu kelangsungan pengobatan ODHA lain yang tak memakai ARV jenis kombinasi TLE melainkan ARV pecahannya.
Situasi itu mirip dengan apa yang terjadi tahun 2016. Saat itu, tender pengadaan obat ARV bermasalah sehingga persediaan di sejumlah daerah kosong. Bahkan, karena stok ARV kosong, ada pasien yang akhirnya diberi obat ARV jenis TLE yang waktu kedaluarsanya sudah dekat. Selain persoalan tender, saat itu distribusi obat dari pusat ke daerah pun berjalan lambat.
Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana, menengarai, kekosongan obat ARV TLE yang kerap terjadi beberapa tahun terakhir terjadi secara sistemik. Tahun ini, menipisnya persediaan obat ARV kombinasi TLE berhubungan erat dengan tender pengadaan obat itu oleh Kemenkes yang gagal.
Terkait proses tender pengadaan ARV jenis TLE yang belum berhasil, Wiendra menolak memberikan keterangan karena itu merupakan domain Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes. Namun, saat dikonfirmasi, Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kemenkes Sadiah, pun tidak memberikan jawaban sama sekali.
Aditya mengatakan, selama ini perusahaan yang menyediakan kebutuhan obat ARV di Indonesia adalah PT Kimia Farma. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral serta Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penunjukan PT Kimia Farma (Persero) Tbk Untuk dan Atas Nama Pemerintah Melaksanakan Paten terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral menjadikan PT Kimia Farma satu-satunya perusahaan farmasi yang mengadakan obat ARV untuk program HIV/AIDS di Tanah Air. Belakangan PT Indofarma ikut juga dalam pengadaan obat ARV.
Menurut informasi yang diterima IAC, tender pengadaan ARV jenis kombinasi TLE tahun ini belum bisa terlaksana karena dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu tidak memasukkan penawaran. Sebab, harga perkiraan sendiri (HPS) yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai dengan harga yang mereka ajukan. “Jangan sampai gagalnya tender ARV jenis kombinasi TLE ini ada unsur kesengajaan,” kata Aditya.