Undang-Undang Dana Otsus Papua Perlu Direvisi
JAKARTA, KOMPAS -- Alokasi dana otonomi khusus (otsus) yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah Papua dan Papua Barat akan berakhir pada 2021. Namun, dana otsus tersebut belum berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Oleh karena itu, Undang-Undang (UU) tentang Otonomi Khusus Papua perlu direcisi agar bisa dijadikan dasar bagi penyaluran dana otsus.
Kebijakan mengenai dana otsus Papua dan Papua Barat tertuang dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Pasal 34 Ayat 3 menyebutkan, penerimaan dana otsus Papua berlaku selama 20 tahun atau berakhir pada 2002-2021.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono mencatat, sejak 2002-2018, pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran untuk dana otsus Papua sebesar Rp 77,5 triliun dengan rincian Rp 59,1 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp 18,4 triliun untuk Papua Barat.
Meski demikian, pelaksanaan otsus di Papua sejak 2001 belum berdampak signifikan pada sejumlah sektor yang paling penting bagi masyarakat, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi mikro. Padahal, kebijakan dana otsus Papua bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Belum meningkatnya kesejahteraan masyarakat Papua secara signifikan juga ditunjukkan dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua yang masih jauh di bawah rata-rata nasional. Hingga 2017, IPM Papua Barat dan Papua menempati posisi terendah se-Indonesia. Papua Barat menempati posisi 33 dengan poin 62,99, sedangkan Papua di posisi 34 dengan poin 59,09.
Nilai IPM di Papua tersebut juga masih jauh di bawah rata-rata IPM nasional yakni 70,81. Adapun dimensi pembentuk IPM adalah umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak.
Masalah yang paling dominan dihadapi Papua ialah kesehatan dan pendidikan. Selain kejadian luar biasa campak disertai gizi buruk di Asmat yang menewaskan 72 anak balita pada awal 2018, program wajib belajar 12 tahun juga belum berjalan optimal.
Angka putus sekolah paling banyak berada di 15 kabupaten di Pegunungan Tengah Papua, seperti Lanny Jaya, Tolikara, Yalimo, Jayawijaya, Puncak, dan Puncak Jaya.
Salah satu cara agar kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Papua bisa terangkat yaitu dengan melanjutkan kebijakan dana otsus Papua yang akan berakhir pada 2021. Hal itu mengemuka dalam seminar nasional bertajuk “Nasib Dana Otsus Papua Pasca 2021” di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Sumarsono memaparkan, Papua masih tetap memerlukan kebijakan dana dan program otsus karena Papua merupakan wilayah yang membutuhkan perlakuan khusus. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi UU 21/2001 yang mengatur tentang jangka waktu alokasi dana otsus Papua sehingga penyaluran dana tersebut memiliki dasar dan regulasi yang jelas.
“Perlu diformulasikan implikasi dari sejumlah pasal, khususnya Pasal 34 yang harus diganti. Pemerintah juga sudah mengantisipasi revisi UU Otsus ini dan diharapkan pada 2020 sudah tuntas,” ujar Sumarsono.
Hal senada juga diungkapkan Anggota Komisi IV DPR RI sekaligus Ketua Kaukus Parlemen Papua-Papua Barat Robert Joppy Kardinal. Menurut dia, pemerintah perlu merevisi UU Otsus Papua agar masalah kewenangan dan keuangan dana otsus Papua memiliki legitimasi politik yang kuat.
Dana otsus Papua harus tetap dilanjutkan sebagai wujud keberpihakan pemerintah kepada Papua.
Dana otsus Papua, kata Robert, harus tetap dilanjutkan sebagai wujud keberpihakan pemerintah kepada Papua. Hal ini juga sekaligus untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan Pemerintah Daerah Papua kepada Pemerintah. Namun, keberlanjutan dana otsus tersebut harus disertai dengan syarat prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Evaluasi efektivitas
Saat ini, penggunaan dana otsus Papua belum efektif dan maksimal sehingga kesejahteraan masyarakat Papua belum meningkat secara signifikan. Kementerian Keuangan mencatat, masih terdapat sisa dana otsus yang cukup besar sampai dengan akhir tahun anggaran 2017.
Dari Rp 7,9 triliun dana otsus yang dianggarkan untuk Papua dan Papua Barat pada 2017, pemprov dan pemkab hanya dapat menyerap sebesar Rp 7,2 triliun atau menyisakan dana Rp 700 miliar lebih.
Menurut Robert, hal ini disebakan karena belum adanya acuan yang jelas dalam pengelolaan dana otsus sehingga seringkali terjadi kebingungan pelaksana dan pengalokasiannya. Kondisi tersebut diperparah dengan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang belum seluruhnya terbentuk.
Agar dana otsus dapat efektif dan maksimal, Robert menegaskan bahwa harus ada evaluasi yang terukur terkait dampak alokasi penggunaan terhadap empat program prioritas, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan infrastruktur. Selain itu, penyempurnaan regulasi tentang otsus harus mengakomodasi muatan atau kepentingan lokal masyarakat Papua.
Mantan Wali Kota Jayapura Michael Manufandu mengatakan, alokasi dana pembangunan dan bantuan sosial yang sangat banyak untuk Papua terkadang tidak disertai dengan pembinaan, penataan maupun pengawasan yang efektif. Akibatnya, sering terjadi penyalahgunaan dan pemborosan dana pembangunan.
Sumarsono menambahkan, sejumlah pihak termasuk pemprov Papua saat ini masih perlu menyusun Rencana Induk Penggunaan Dana Otsus agar hasil pelaksanaan program atau kegiatan dapat terukur. Namun, pihaknya juga ingin membentuk iklim yang memungkinkan pemerintah dan masyarakat Papua dapat meningkatkan kapasitas manajemennya.
“Mereka perlu dilatih berdemokrasi, bermusyawarah, dan secara teknis kami bekali penyusunan perundang-udangan. Memang lambat, tetapi mereka membutuhkan ini agar bisa meningkatkan kapasitas kemampuan dalam aspek kelembagaan,” ungkapnya.