Berburu Kuis demi Skincare Korea
Upaya berpenampilan menarik kian merata ke seluruh kalangan masyarakat urban, seiring dengan kian maraknya jenis produk perawatan tubuh dan kosmetik yang membanjiri pasar, mulai dari yang termurah hingga termahal. Namun, rentang harga produk tidak menjadi masalah. Kenyataan itu justru mendorong masyarakat untuk bersiasat.
Sebagaimana dilakukan Garis Khatulistiwa (20),warga Kota Tangerang Selatan, Banten. Sudah enam bulan terakhir ia menggunakan rangkaian produk perawatan wajah (skincare) asal Korea dan Jepang, mulai dari sabun pembersih, pelembab, hingga masker gel. Seluruhnya ia gunakan secara rutin setiap pagi dan malam.
Mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, itu mengatakan, tak mau lagi meninggalkan skincare karena terbukti mampu menyelesaikan persoalan wajahnya. Saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA), ia hanya menggunakan sabun pembersih wajah. Alhasil, wajah Garis penuh jerawat.
Kini, hampir tak ada lagi jerawat. Kulitnya pun halus dan bercahaya. ”Sekarang aku sudah lebih mengerti soal masalah kulit jadi berusaha mengatasinya saja,” kata Garis di Jakarta, Senin (10/12/2018).
Pengetahuan soal kulit didapatkan Garis dari berbagai platform e-dagang. Selain menjajakan produk beserta harganya, platform tersebut juga menyediakan jurnal yang mengulas berbagai produk serta kondisi kulit. Dari bacaan itu, ia dapat mengindentifikasi jenis kulitnya yang kering. Adapun kulit kering dinilai berisiko lebih tinggi untuk cepat keriput.
Platform itu juga menampilkan foto model yang diklaim telah menggunakan berbagai produk skincare. Bagi Garis, pengalaman mereka dalam merawat wajah dan memilih produk sangat menginspirasi untuk diikuti. ”Menurut aku, menggunakan skincare penting saat usia sudah tidak muda lagi biar ke depan juga tetap awet muda,” katanya.
Namun, mencapai tujuan itu bukan perkara mudah. Ia yang belum berpenghasilan terkendala biaya untuk membeli produk perawatan wajah. Rangkaian yang digunakan pun tak lengkap. Ia belum memiliki tabir surya dan masker lembar (sheet mask) yang harusnya juga dipakai sehari-hari. ”Pelembab yang aku pakai pun masih menumpang punya mama,” ujar Garis.
Belum mampu membeli, ia pun mencoba cara lain untuk tetap dapat mencoba produk yang lengkap dan terbaru. Belum lama ini, Garis memenangi kuis yang digelar salah satu merek skincare Korea. Hadiahnya, ia mendapatkan rangkaian lengkap yang berisi sabun pembersih, penyegar (toner), spot cream, krim, dan masker dalam kemasan saset untuk pemakaian selama 14 hari.
Ia dan beberapa pemenang lain diminta mengulas produk tersebut setiap hari dan memublikasikannya di akun media sosial. Pengulas terbaik dijanjikan rangkaian serupa dalam kemasan botol. Harga setiap produk mencapai ratusan ribu rupiah per botol.
”Sayangnya, aku belum menang. Mungkin harus cari sponsor untuk beli produk skincare,” katanya sambil tertawa.
Mahalnya harga produk skincare juga dirasakan Chintya Bintang (20), mahasiswi STKIP Pasundan. Walaupun ia sudah berpenghasilan berkat mengajar di SMP swasta, pengeluaran untuk membeli produk tersebut tetap dirasa berat. Pembelian skincare mencapai 30 persen dari total penghasilannya.
Sehari-hari, ia menggunakan pelembab, tabir surya, dan masker yang beragam asalnya, antara lain dari Korea dan Amerika Serikat. Selain itu, ia pun menggunakan krim malam racikan dokter kecantikan. Contoh harga yang harus ia bayar, tabir surya mencapai Rp 700.000, masker harian Rp 12.000, dan pelembab Rp 100.000.
”Memang sebenarnya keberatan sih, tetapi tetap dibutuhkan untuk investasi kesehatan kulit di masa tua sih. Selain itu, merawat wajah sama saja dengan menghargai diri sendiri,” kata Chintya.
Alternatif
Meski demikian, merawat kesehatan wajah tidak melulu identik dengan harga yang mahal. Dedy Darmawan N (24) mengatakan, biaya perawaran wajahnya tak sampai Rp 100.000 per bulan. Ia menggunakan air alkali yang mengandung Ph 8,5-9,5 untuk melembabkan wajah.
”Ada dua jenis air alkali yang saya pakai sih, satu untuk membersihkan, yang lainnya untuk melembabkan,” kata Dedy. Keduanya dipakai rutin pada pagi dan malam hari.
Dedy mengatakan, aktivitas pekerjaannya yang menempuh jarak Manggarai, Jakarta Selatan-Kota Bekasi menyebabkan wajahnya sangat kotor dan kering. Oleh karena itu, perawatan tambahan di luar sabun pembersih wajah amat diperlukan.
Rizka Amalia (17), siswi SMAN 48 Jakarta, mengatakan, biaya pembelian produk kosmetik bisa dihemat dengan memilih kualitas barang. Setidaknya kualitas terbagi dua, yaitu kualitas drugstore untuk produk yang dijual di berbagai ritel. Ada pula kualitas premium (high-end) untuk kosmetik yang dijual khusus di gerai merek kenamaan.
”Kalau aku sih biasanya mencampur produk, baik dari drugstore maupun yang high-end,” kaya Rizka. Sebab, berbagai produk skincare dan make-up ia beli dengan uang jajan sekolah. Ia pun harus menabung untuk membelinya.
Tren
Sekretaris Jenderal Persatuan Ahli Kecantikan dan Pengusaha Salon Indonesia ”Tiara Kusuma” Fourlen Diana mengatakan, booming perawatan tubuh dan wajah memang terjadi pada 2018. Berbagai produk dan teknik perawatan tubuh menjadi kebutuhan, baik untuk perempuan maupun laki-laki. Tidak hanya itu, ledakan juga diiringi dengan tren pewarnaan rambut warna tembaga dan ungu.
Menurut dia, ledakan tren itu menyebabkan masyarakat semakin sering ke salon karena kesadaran untuk merawat diri meningkat. Akan tetapi, pelanggan cenderung mengurangi kualitas produk yang digunakan karena tarif yang terus naik.
”Hampir semua salon menaikkan tarif karena tren diiringi pula dengan peningkatan inflasi,” kata Fourlen. Tiara Kusuma mencatat, ada 1.200 salon di Jakarta yang tergabung dalam organisasi. Seluruhnya terdampak inflasi, terutama karena banyak produk yang diimpor dari luar negeri. Oleh karena itu, omzet yang terus naik juga diikuti belanja dan biaya operasional yang kian meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada November 2018 inflasi DKI Jakarta mencapai 0,3. Adapun penyumbang terbesar inflasi adalah sektor kesehatan, perawatan jasmani dan kosmetik, serta obat-obatan yang mencapai angka 0,84.
Hal serupa terjadi pada November 2017. Inflasi DKI Jakarta yang mencapai 0,08. Sumbangan terbesar pun berasal dari sektor kesehatan, perawatan jasmani, dan kosmetik.
Menurut Fourlen, gempuran produk luar negeri dengan kualitas yang bagus menjadi pekerjaan rumah bagi pelaku usaha dan ahli kecantikan dalam negeri. Mau tak mau mereka harus cepat beradaptasi dan berinovasi mengingat produk lokal yang masih unggul terbatas pada perawatan tubuh, seperti lulur dan spa. Produk lain cenderung tertinggal dari negara lain.
Selain itu, ia juga berharap regulasi pemerintah memprioritaskan pengusaha, ahli kecantikan, dan produk lokal. Sebab, dengan inovasi yang lebih canggih, produk luar negeri lebih diminati. ”Sekarang, pembicara seminar-seminar kecantikan pun banyak yang datang langsung dari luar negeri,” kata Fourlen.