SUBANG, KOMPAS — Peternak sapi perah rakyat kini memiliki wahana belajar untuk mengelola peternakan secara modern. Wahana itu merupakan hasil kemitraan antara industri pengolahan susu dan koperasi peternak.
Wahana belajar itu berupa peternakan sapi perah modern yang diberi nama Dairy Village atau Desa Susu. Lokasi peternakan yang berada di Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, ini diresmikan pada Selasa (11/12/2018).
Presiden Direktur PT Frisian Flag Indonesia Maurits Klavert, Ketua Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Dedi Setiadi, Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna, Counsellor for Agriculture Embassy of the Kingdom of the Netherland Louis Beijer, Kepala Balai Inseminasi Buatan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Triasih, Direktur Minuman dan Tembakau Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim, dan Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Subang Asep Nuroni hadir dan meresmikan Desa Susu (Dairy Village).
Investasi yang dibutuhkan untuk membangun Desa Susu mencapai Rp 16 miliar. Sebanyak 40 persen di antaranya berasal dari pemerintah Belanda, sementara sisanya dari PT Frisian Flag Indonesia dan KPSBU.
Kawasan peternakan itu dilengkapi tangki pendingin dan alat pemerah susu di satu bangunan kandang. Ada petugas yang khusus memasok pakan. Pakan sapi adalah hasil fermentasi jagung dan batang jagung.
Menurut Dedi, Desa Susu merupakan model peternakan modern yang bisa menjadi tempat bagi peternak rakyat untuk belajar. Ke depan, pihaknya berniat mereplikasi model itu secara mandiri.
Peternakan modern ini diharapkan dapat meningkatkan rata-rata produksi susu, dari semula sekitar 10-12 liter per ekor sapi per hari menjadi 20 liter per sapi per hari. Selain itu, Dedi berpendapat, peternakan modern dapat menjadi magnet bagi anak-anak muda. ”Ini menjadi salah satu solusi regenerasi peternak," ujarnya.
Bahan baku industri
Secara umum, menurut Abdul Rochim, model kemitraan tersebut bisa menjadi jalan keluar untuk mendongkrak produksi susu segar nasional sekaligus memenuhi bahan baku industri pengolahan susu (IPS) dalam negeri. Namun, hanya 14 IPS dari total 60 IPS yang saat ini sudah bermitra dengan peternak rakyat.
Senada dengan Abdul, Maurits cenderung lebih memilih susu segar dalam negeri sebagai bahan baku untuk industrinya jika suplainya tersedia. ”Desa Susu ini perlu jadi contoh bagi IPS lainnya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dari dalam negeri,” ujarnya.
Peternakan modern tersebut dapat menampung 120-130 sapi. Susu yang dihasilkan akan diolah di pabrik milik Frisian Flag Indonesia. Saat ini, Desa Susu dikelola oleh lima peternak berusia kurang dari 35 tahun.
Dairy Development Manager & FDOV Project Manager Frisian Flag Indonesia Akhmad Sawaldi berharap, peternak dapat menerapkan model peternakan yang sama di tempat asalnya. Titik impas modal dengan model tersebut bisa ditinjau enam tahun kemudian. ”Model bisnisnya bersifat jangka panjang,” ujarnya.
Lima peternak pengelola berstatus sebagai pekerja di Desa Susu. Sebagai tempat belajar, peternakan modern itu dapat mengakomodasi sekitar 15 peternak rakyat yang ingin dilatih.
Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana, yang hadir dalam peresmian tersebut, mengapresiasi kehadiran Desa Susu sebagai bentuk keberhasilan kemitraan antara peternak dan industri pengolah susu. Namun, dalam 5-6 tahun ke depan, model peternakan modern tersebut perlu dievaluasi dampak ekonomi dan efisiensinya.