JAKARTA, KOMPAS—DPRD DKI Jakarta meminta PT Jakarta Propertindo menghentikan pengerjaan tempat usaha kuliner di pinggir Kali Karang, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Proyek itu dinilai menyalahi peruntukan lahan yang rencananya dijadikan ruang terbuka hijau.
“Warga membutuhkan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai daerah resapan air, sehingga menurunkan risiko banjir,” ucap Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi, di sela memimpin sejumlah anggota dewan meninjau lokasi proyek pada Rabu (12/12/2018).
Proyek yang dipersoalkan DPRD DKI itu berada di Jalan Pluit Karang Indah Timur. Area itu berpagar seng, dan di dalamnya dua alat berat sedang beroperasi untuk meratakan tanah urukan. Di bagian dekat jalur masuk, terdapat peti kemas yang difungsikan sebagai kantor pemasaran Pluit Culinary Park, nama yang rencananya disematkan pada tempat kuliner itu saat nanti beroperasi.
Dari jalan, terlihat papan informasi yang menyatakan, tanah di pinggir Kali Karang itu milik Jakpro, dan memasuki atau memanfaatkan dan membangun tanpa seizin perusahaan milik DKI Jakarta tersebut melanggar Pasal 155, 167, dan 385 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pelaksana proyek tempat kuliner adalah PT Jakarta Utilitas Propertindo (JUP), salah satu anak usaha Jakpro.
Berdasarkan hasil peninjauan, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI, Gembong Warsono, menyatakan DPRD meminta Pemprov DKI Jakarta menghentikan pembangunan tempat kuliner agar bisa menyesuaikan proyek dengan ketentuan-ketentuan dan kepentingan warga sekitar. “Izin seharusnya keluar berdasarkan peruntukan. Ini peruntukan untuk taman (RTH) kenapa diberi izin untuk bangunan,” ujarnya.
Peninjauan dilatarbelakangi pertemuan warga sekitar proyek dengan anggota Fraksi PDIP DPRD yang meminta proyek tempat kuliner dihentikan. Gembong menyebutkan, warga khawatir adanya kegiatan pedagang kaki lima di sana menambah kemacetan Jalan Pluit Karang Indah Timur serta menimbulkan kekumuhan kembali. Padahal, pada 2016 Pemprov DKI membongkar bangunan-bangunan di area itu guna membereskan kekumuhan.
Sekretaris Fraksi Partai Hanura DPRD DKI Veri Yonnevil menambahkan, warga yang dulu menempati jalur di sempadan kali itu mau pindah karena Pemprov menjanjikan lahan bakal dijadikan ruang terbuka hijau. Jika janji tidak ditepati, bukan tidak mungkin warga yang dulu diminta pindah bakal protes.
Pada sisi lain, pembangunan tempat kuliner bertentangan dengan upaya Pemprov menambah lahan RTH. Menurut Veri, Pemprov setiap tahun mengalokasikan dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk membebaskan lahan dan dijadikan RTH sehingga rasio ideal RTH dibanding luas DKI bisa dicapai.
Luas total RTH di DKI baru nyaris 10 persen, sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, luas RTH minimal 30 persen dari luas wilayah. “Sekarang, jalur hijau kenapa malah kita bangun? Ada apa? Ini pertanyaan besar,” kata Veri.
Anton Mustika, warga RW 12 Kelurahan Pluit, mengatakan, warga dari RW 12, 14, dan 15 ramai-ramai menolak rencana pembangunan tempat usaha kuliner. Mereka menuntut Pemprov memenuhi janji menyediakan RTH bagi warga, karena RTH di sana amat minim.
Menurut Anton, warga baru tahu jika JUP berencana membangun tempat kuliner dalam sosialisasi di Kantor Lurah Pluit, Oktober lalu. Hingga sekarang, JUP tidak pernah membuka informasi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan ke warga setempat.
Warga RW 12 lainnya, Hartono, menambahkan, warga merasa dijebak dengan mengikuti sosialisasi di kantor lurah. “Kami menandatangani daftar hadir, tetapi kami curiga daftar hadir itu dijadikan bukti bahwa sosialisasi sudah dilaksanakan sehingga memenuhi syarat mengajukan izin. Padahal, kami masih protes,” ucapnya.
Direktur Utama JUP Ario Pramadhi menyatakan, pihaknya memenuhi permintaan DPRD dengan menghentikan sementara proyek. Namun, ia yakin tempat kuliner masih bisa dibangun asalkan ada kombinasi pemanfaatan lahan sehingga kebutuhan RTH warga tetap terpenuhi. “Namun, jika memang ada ketentuan bahwa ini (tempat kuliner) tidak bisa, ya sudah,” kata dia.
JUP mengkaji kembali rencana pembangunan di lahan selama penghentian sementara proyek.