JAKARTA, KOMPAS – Berbagai upaya teknokratis melalui kebijakan, hukum, dan penindakan yang dilakukan untuk mengatasi korupsi di Indonesia tidak akan bisa berhasil menghasilkan tatanan yang tidak korup apabila tidak diikuti proses pedagogis yang berlangsung masif. Pemberantasan korupsi perlu menjadi bagian dari strategi kebudayaan dan pendidikan yang ditanamkan terus menerus dan membutuhkan waktu panjang.
Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menekan korupsi di Indonesia. Setelah reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan kewenangan khusus yang memungkinkan korupsi ditangani dengan cara tidak biasa. Di saat bersamaan, Polri dan Kejaksaan juga menangani kasus korupsi.
Dari sisi penindakan, KPK sepanjang 2014 hingga 30 September 2018 sudah menangani perkara 915 orang, baik pejabat tinggi negara hingga swasta yang terlibat korupsi. Selain itu, KPK juga menerapkan sistem pencegahan yang terpadu dengan penindakan untuk menekan perilaku korup. KPK bekerja sama dengan pemerintah daerah di Indonesia, melalui koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi yang mencakup delapan bentuk intervensi, di antaranya perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, dan pelayanan terpadu satu pintu. Namun, kasus korupsi di daerah dan di pusat tetap terjadi.
“Kebijakan, hukum, dan penindakan itu sangat penting, tetapi yang belum ada di Indonesia adalah proses pedagogis untuk secara kolektif berubah dari korupsi menjadi tidak korupsi,” kata Herry Priyono, pengajar STF Driyarkara yang juga penilis buku Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Herry menuturkan, proses pedagogis itu membutuhkan waktu yang lama dan intensif sehingga bisa menghasilkan kebiasaan. Di berbagai masyarakat yang dikenal tidak korup, seperti di negara-negara Skandinavia, hal itu sudah ditanamkan bahkan sejak anak-anak usia playgroup. Proses pedagogis itu harus ditanamkan pada semua sistem pendidikan sejak kecil. Oleh karena itu, dia mendorong Kementerian Pendidikan untuk menerapkan menanamkan nilai antikorupsi secara kreatif dalam sistem pendidikan. Masyarakat sipil juga perlu membantu.
Hal ini sangat penting karena korupsi akan terus ada, kendati berubah maknanya dari masa ke masa. Sistem demokrasi yang menghasilkan banyaknya relasi mandat, juga membuka peluang korupsi yang lebih banyak. Namun, sistem demokrasi di sisi lain juga lebih memungkinkan dalam jangka panjang untuk bisa membasmi korupsi, melalui pemilu dengan memilih wakil-wakil yang lebih tidak korup. “Karena itu, perubahan korupsi ini akan berlangsung dalam jangka panjang, tidak bisa besok begitu saja,” katanya.