JAKARTA, KOMPAS — Moda raya terpadu atau MRT Jakarta siap beroperasi Maret 2019. Supaya saat operasionalisasi tidak menimbulkan kesemrawutan, perlu ada penataan kendaraan roda dua. Penataan yang diharapkan juga menyangkut integrasi tiket dan sistem pembayaran sebelum pengoperasian moda itu.
Iskandar Abubakar, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta, dalam diskusi menjelang pengoperasian MRT Jakarta di kantor Dinas Perumahan DKI Jakarta, Rabu (12/12/2018), mengungkapkan, dari koridor fase 1 MRT, titik yang paling semrawut yang ia cermati ada di Dukuh Atas.
Di titik itu saat ini ada persinggungan antara kereta komuter dan bus rapid transit (BRT) transjakarta. Lalu, di titik stasiun sebelah atas masih ada angkutan kota lain seperti kopaja.
”Di titik itu roda dua yang adalah angkutan daring sangat banyak. Polisi dan petugas dinas perhubungan saja kewalahan. Keberadaan mereka membuat area stasiun menjadi semrawut,” ujar Iskandar.
Saat MRT Jakarta beroperasi, ia berharap akan ada pengaturan terhadap kendaraan roda dua itu di setiap entrance (pintu masuk dan keluar) stasiun MRT Jakarta.
William P Sabandar, Direktur Utama PT MRT Jakarta, menjelaskan, untuk angkutan daring itu, nantinya akan ada pengaturannya. MRT Jakarta akan menyiapkan titik-titik untuk penurunan dan penjemputan penumpang. Tujuannya, supaya pintu masuk dan keluar penumpang menjadi lebih rapi.
Namun, Iskandar menyatakan, untuk pengaturan kendaraan roda dua perlu ada kerja sama dengan pihak kepolisian. Dia berharap, penerapan sistem tilang elektronik atau electronic traffic law enforcement (ETLE) dapat mendukung sistem baru yang diharapkan nanti.
”Dengan ETLE di titik entrance MRT Jakarta, ojek-ojek daring tidak akan bisa tinggal lama di titik entrance karena kalau tinggal lama, bisa kena tilang,” ujar Iskandar.
Masalah tarif
Menjelang pengoperasian komersial MRT Jakarta, juga terungkap masalah tarif. Dengan sasaran operasional adalah untuk mendorong perpindahan pengguna kendaraan roda empat ke angkutan umum, masalah tarif harus dipikirkan betul.
Apalagi karena panjang layanan MRT di fase awal baru 16 kilometer, integrasi layanan dengan moda lain yang mendukung amat diperlukan, khususnya dengan bus transjakarta.
Djoko Setijowarno, pengajar dan peneliti Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Semarang, dalam diskusi mengingatkan supaya besaran tarif jangan sampai membebani masyarakat. Dalam hitungan pemerintah, besaran biaya transpor mesti mempertimbangkan gaji UMR dengan besaran biaya transportasi 10 persen dari gaji.
Sekarang ini, lanjut Djoko, yang membuat biaya transport mahal adalah biaya transportasi dari rumah ke stasiun. ”Kalau tiket kereta bisa dibuat murah, sayangnya biaya transportasi dari rumah ke stasiun yang mahal. Itu yang membuat biaya transportasi warga masih mahal,” ujarnya.
Kalau tiket kereta bisa dibuat murah, sayangnya biaya transportasi dari rumah ke stasiun yang mahal. Itu yang membuat biaya transportasi warga masih mahal.
Oleh karena itu, dengan pembahasan tarif yang masih berlangsung, yaitu tarif untuk memudahkan warga yang hendak naik bus transjakarta dan atau MRT, diperhitungkan pula tarif angkutan lingkungannya.
William menambahkan, untuk integrasi tarif dan integrasi pembayaran, akan dibentuk perusahaan gabungan antara MRT, Transjakarta, dan LRT Jakarta. Perusahaan gabungan itu yang akan mengelola integrasi tiket. Diharapkan saat MRT beroperasi, perusahaan gabungan itu juga sudah siap mendukung.
Hal lain yang diingatkan Djoko dalam diskusi adalah peran Transjakarta dalam pengoperasian MRT. Masyarakat berpenghasilan UMR masih mengandalkan bus transjakarta. Untuk itu, dalam proses integrasi, bus transjakarta, khususnya Koridor 1, tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Iskandar menyebutkan, yang bisa dikerjakan Transjakarta adalah melakukan modifikasi rute supaya bisa mengumpan penumpang lebih banyak ke MRT.