Selama bertahun-tahun, Bandara Changi, Singapura, tercatat sebagai terminal udara terbaik di Bumi. Status itu terancam hilang seiring tuntutan Indonesia dan Malaysia agar Singapura menyerahkan kendali ruang udara kepada kedua negara itu.
Menteri Transportasi Malaysia Anthony Loke mengumumkan Malaysia ingin kontrol ruang udara (FIR) Johor Bahru dikembalikan Singapura ke Malaysia. Permintaan pada awal Desember 2018 itu dipicu keputusan Singapura menyusun alur penerbangan untuk Bandara Seletar, bandara kecil di tepi Selat Johor dan berjarak tidak sampai 4 kilometer dari perbatasan Singapura-Malaysia. Sebagian alur itu menggunakan wilayah udara Malaysia dan Malaysia tidak dimintai izin terlebih dahulu.
Loke menyebut alur penerbangan itu akan berdampak terhadap pembatasan ketinggian gedung dan aktivitas pelayaran di Johor Bahru. Karena itu, Malaysia menolak permintaan izin Singapura yang diajukan pada 28 dan 29 November 2018. ”Kami rasa sekarang waktunya kami mengambil kembali kendali ruang udara. Kami sudah meningkatkan (kemampuan) pengendali lalu lintas udara dan kami pikir kami sanggup melakukannya. Jadi, kami ingin memulai perundingan dengan mitra di Singapura,” tuturnya dalam sidang parlemen.
Kementerian Transportasi Singapura mengatakan menghormati kedaulatan Malaysia. ”Ruang udara di kawasan ini salah satu yang paling rumit di dunia. Manfaat pada perekonomian dan masyarakat kedua negara amat besar. Karena itu, rencana perubahan akan berdampak terhadap banyak pemangku kepentingan,” demikian disampaikan dalam pernyataan resmi Kementerian Transportasi Singapura.
Seorang pelaku industri dirgantara Singapura yang tidak ingin namanya dipublikasikan menyebut Singapura tidak akan mau menyerahkan FIR Johor kepada Malaysia. Sebab, ruang udara Johor penting bagi operasionalisasi Bandara Changi. Manuver sebagian penerbangan di Changi menggunakan ruang udara Johor. Sebagian lagi menggunakan ruang udara Indonesia.
Ruang udara Johor Bahru, negara bagian Malaysia yang berbatasan dengan Singapura, dikendalikan Singapura sejak 1974. Sementara ruang udara sebagian Riau dan seluruh Kepulauan Riau malah sudah dikendalikan Singapura sejak 1949.
Tuntutan Indonesia
Bukan hanya Malaysia yang meminta pengembalian kendali ruang udara. Indonesia malah lebih dulu meminta itu. Pada November 2015, Presiden Joko Widodo menyampaikan hal itu kepada Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Koordinator Keamanan Nasional Republik Singapura Teo Chee Hean di Istana Merdeka.
Pengambilalihan FIR adalah amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Kendali ruang udara sebagian Riau dan seluruh Kepri telah mengesalkan pilot-pilot TNI AU selama puluhan tahun. Sebab, TNI AU harus meminta izin Singapura jika akan bermanuver di Riau dan Kepri yang seutuhnya bagian dari Indonesia.
Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal (Purn) Chappy Hakim mengungkapkan kekesalan itu di salah satu bukunya. Kala masih berpangkat letnan dua dan bertugas di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, ia dan rekan-rekannya harus meminta izin Singapura untuk sekadar menyalakan mesin Hercules TNI AU.
Saat ini, selain karena amanat undang-undang, pengambilalihan FIR juga sudah disokong kemampuan mutakhir Indonesia. Hasil audit Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) pada 2017 menyatakan, nilai Indonesia untuk pelayanan navigasi udara pada 2017 mencapai 86 persen, di atas rata-rata global 60,7 persen. Pencapaian pelaksanaan protokol udara keselamatan penerbangan juga telah mencapai 81,15 persen, di atas rata-rata global 64,71 persen.
Pengambilalihan itu juga penting dari kacamata ekonomi dan pertahanan. Di masa kini, ancaman keamanan negara bisa datang dari udara, dan di masa damai, wilayah udara bisa jadi alat diplomasi dan mendatangkan devisa.
Soal pendapatan dari ruang udara, Singapura sudah membuktikannya. Pada 2011, Perdana Menteri Goh Chok Tong menyatakan, penerbangan sipil di Singapura menyumbang 3 persen dari produk domestik bruto atau sekitar Rp 122 triliun dari turis, transit, dan industri penerbangan.
Industri dirgantara amat penting bagi Singapura. Bandara Changi bisa menjadi salah satu terminal penghubung penerbangan global bukan hanya karena efisiensi pelayanan Singapura. Modal amat penting untuk status itu adalah kendali atas sebagian ruang udara Indonesia dan Malaysia. Modal itu sedang terancam lepas dari Singapura karena pemilik aslinya minta aset itu dikembalikan. (REUTERS/RAZ)