Belum Semua Maskapai Punya Dokter Penerbangan
Jumlah dokter spesialis penerbangan minim. Padahal, keberadaan tenaga medis itu untuk lebih menjamin aspek keselamatan selama penerbangan.
JAKARTA, KOMPAS—Belum semua maskapai memiliki dokter spesialis penerbangan. Padahal, pengaturan beban kerja kru udara dan darat setiap maskapai memerlukan pengawasan dokter spesialis penerbangan demi lebih menjamin keselamatan selama penerbangan.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penerbangan Indonesia (Perdospi) Wawan Mulyawan, seusai pelantikan pengurus Perdospi, Rabu (12/12/2018), di Jakarta, maskapai penerbangan umumnya menyadari pentingnya keberadaan dokter spesialis penerbangan. Namun, bagi publik, hal itu masih perlu sosialisasi.
Meski demikian, seiring berkembangnya tren penerbangan berbiaya rendah, maskapai penerbangan cenderung tak merasa keberadaan dokter spesialis penerbangan adalah sesuatu yang penting. ”Bahkan, ada maskapai yang tidak punya dokter sama sekali. Jadi, jika ada yang sakit, berobat ke fasilitas kesehatan di luar saja,” ujarnya.
Bahkan, ada maskapai yang tidak punya dokter sama sekali. Jadi, jika ada yang sakit, berobat ke fasilitas kesehatan di luar saja.
Berdasarkan bukti ilmiah medis, seorang penerbang maksimal terbang 8-9 jam sehari dan bekerja lima hari berturut-turut kemudian libur sehari setelahnya. Namun, berdasarkan informasi dari banyak pilot, beban kerja dan jadwal terbang mereka kacau sehingga mengalami kelelahan.
Hal itu dinilai bisa mengancam keselamatan penerbangan. Tidak hanya kru udara, keberadaan dokter spesialis penerbangan juga untuk mengawasi kesehatan kru darat yang juga penting dalam operasional penerbangan sehari-hari.
Wawan menambahkan, salah satu hal yang ingin didorong oleh Perdospi adalah ada penambahan fasilitas kesehatan penerbangan. Fasilitas itu bisa digunakan oleh penerbang sipil untuk menguji dan memeriksa kesehatan penerbang.
”Anggota Ikatan Pilot Indonesia mungkin ada sekitar 3.800 orang, tetapi pilot yang ada di Indonesia mencapai 10.000 orang, termasuk pilot asing. Mereka tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Jadi, kalau ada fasilitas pengujian kesehatan lain selain yang ada di Kemayoran sekarang tentu akan lebih baik,” kata Wawan.
Selama ini keberadaan pilot asing juga belum tersentuh regulasi dengan baik. Implementasi regulasi terkait pilot asing dinilai perlu ditingkatkan.
Komitmen maskapai
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih, sebenarnya kebutuhan dokter spesialis penerbangan sangat
terbuka luas seiring dengan semakin berkembangnya industri penerbangan. Contohnya, adanya dokter dalam penerbangan sebagai bentuk tanggung jawab maskapai terhadap penumpangnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) Saryanto, Marsekal Pertama TNI Krismono Irwanto, mengungkapkan, beberapa maskapai penerbangan pernah memanfaatkan fasilitas di Lakespra Saryanto. ”Memang lembaga ini khusus melayani keperluan Angkatan Udara, tetapi terbuka juga untuk penerbangan sipil. Dulu pernah ada Lion Air, Batik, dan Wings Air, tetapi kemudian tidak berlanjut,” katanya.
Fasilitas yang terdapat di Lakespra Saryanto meliputi antara lain fasilitas untuk melatih penerbang mencegah dan menghadapi disorientasi tingkat dasar (basic orientation training/BST) dan lanjut (advance orientation training/AOT). Dengan alat itu, penerbang dilatih menghadapi kondisi kehilangan orientasi dan cenderung tidak memercayai indikator pada panel instrumen di dalam kokpit pesawat.
Selain itu, materi pelatihan yang juga bisa dipelajari di Lakespra Saryanto adalah simulasi pendaratan darurat di air dan pelatihan penglihatan malam hari (night vision training/NVT). Itu dilakukan dengan memakai kacamata khusus.
Krismono menambahkan, fasilitas AOT di Lakespra Saryanto merupakan simulator yang cukup canggih. Simulator AOT dilengkapi dengan berbagai
skenario penerbangan yang memang diadaptasi dari pengalaman empiris penerbang terkait disorientasi selama ini.
”Mayoritas kecelakaan pesawat terjadi karena disorientasi,” ujarnya.
Untuk keperluan penerbangan militer, ada fasilitas untuk melatih bagaimana dan kapan keluar dari pesawat dalam kondisi darurat (eject). Selain itu, terdapat juga fasilitas untuk melatih cara mengetahui batas toleransi dorongan tenaga gravitasi (G force) sehingga penerbang bisa melakukan manuver anti-G agar tidak pingsan.