DKI Siapkan Perusahaan Gabungan Untuk Tangani Tiket Antarmoda
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemprov DKI menyiapkan peraturan gubernur yang mengatur integrasi pembayaran secara elektronik (electronic fare collection/EFC) oleh perusahaan gabungan tiga BUMD DKI bidang transportasi.
Sri Haryati, Kepala Biro Perekonomian Pemprov DKI Jakarta, Kamis (13/12/2018), menjelaskan, integrasi itu melibatkan kereta moda raya terpadu (MRT) yang dioperasikan PT MRT Jakarta, kereta ringan (light rail transit/LRT) yang dioperasikan PT LRT Jakarta, dan bus transjakarta oleh PT Transportasi Jakarta.
"Kemarin sudah diputuskan, kami bikin joint venture (JV) dari tiga BUMD tersebut (MRT, TJ, LRT). Pembayarannya melalui EFC. Sekarang sedang dalam proses pembuatan pergub penyelenggaraannya. Barusan saya paraf untuk jadi verbal," jelas Sri Haryati di Balai Kota DKI Jakarta.
Pergub tersebut, lanjut Sri, akan mengatur tata cara pembayaran seperti apa, juga penyelenggaraannya. Adapun JV itu tidak akan mengelola public service obligation (PSO) atau subsidi. PSO diserahkan oleh Pemprov DKI ke masing-masing BUMD itu.
JV itu akan fokus mengelola sistem pembayaran yang mewujud dalam bentuk integrasi tiket. Akan ada data dari pergerakan penumpang pengguna tiga moda itu yang terekam melalui EFC. Data itulah yang digunakan Pemprov DKI dalam mengembangkan kebijakan transportasi.
William P Sabandar, Direktur Utama PT MRT Jakarta dalam forum group discussion (FGD) menjelang pengoperasian MRT Jakarta, menjelaskan, kerja sama antara MRT Jakarta, Transjakarta, dan LRT Jakarta sedang disiapkan mekanismenya, baik aspek teknis ataupun administrasinya.
Integrasi tiket akan dilakukan bertahap. Fokusnya antara lain persoalan kartu tiket transjakarta bisa dipakai untuk MRT, demikian sebaliknya.
Untuk itu, lanjut William, sebenarnya harus dipastikan, perusahaan pengelola tiket yang adalah perusahaan gabungan itu, bukan berorientasi mencari keuntungan.
"Yang dipikirkan itu untuk kepentingan publik. Jadi bagaimana masyarakat tidak perlu menggunakan tiket yang berbeda setiap naik moda transportasi yang berbeda. Itu sebabnya sehingga dilakukan integrasi ticketing. Jadi belum membahas mengenai profit, tapi membahas mengenai pelayanan. Pelayanannya apa, harus ada satu badankan, itu adalah joint venture BUMD," jelas William.
Untuk itu, ditargetkan, perusahaan itu bisa terbentuk sebelum Maret 2019 dan bisa mendukung operasional tiga moda berbeda, khususnya dari aspek integrasi pembayaran.
Sri menambahkan selain masalah perusahaan pengelola sistem pembayaran yang terintegrasi, Pemprov juga masih menggodok masalah tarif ketiga moda itu.
"Kita sudah paparan. Namun ada beberapa data yang kita akan masukkan, sehingga tarif yang nanti kita tetapkan itu bisa benar-benar diterima masyarakat. Sisi Pemprov untuk memberikan PSO-nya juga sesuai dan lain-lain," jelas Sri.
Djoko Setijowarno, Pengajar dan Peneliti Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang, menambahkan, untuk MRT Jakarta ini berbeda dengan kereta komuter. Kalau KRL, infrastruktur sudah lama ada sehingga tarif bisa murah meski dengan subsidi. Kalau MRT, semua infrastruktur dan sarana serba baru sehingga tarif akan bisa lebih mahal dari KRL sekalipun sudah disubsidi.
Djoko memperhitungkan, tarif MRT bersubsidi sekitar Rp 10.000 - Rp 15.000. Tanpa subsidi, tarif MRT bisa mencapai Rp 35.000-40.000. Alhasil pegawai bergaji UMR tak akan bisa naik MRT.
Namun adanya konsep pengembangan kawasan berorientasi transit (TOD) dan juga jalan berbayar (ERP), itu bisa dipakai untuk menambah besaran subsidi bagi MRT.
Menyontoh negara maju seperti Perancis, ujar Djoko, Pemprov bisa membuat kebijakan bahwa perusahaan dengan jumlah karyawan tertentu diharuskan memberi subsidi transportasi umum bagi karyawannya.
Tentang tarif, Sri berharap pekan depan besaran tarif sudah ditetapkan dan bisa diumumkan.