Tujuh tahun lamanya ladang emas di Gunung Botak, Kecamatan Waelata, Pulau Buru, Maluku, ditambang secara ilegal. Emas dibawa pergi tanpa meninggalkan satu rupiah pun untuk negara. Emas seperti menguap begitu saja. Yang ditinggalkan malah kerusakan lingkungan akibat penggunaan merkuri yang kini menunggu waktu meledak menjadi bencana kesehatan.
Emas di Gunung Botak pertama kali ditemukan oleh Tarno, warga asal Banyuwangi, Jawa Timur, yang menjadi transmigran di daerah itu. Penemuan emas itu secara kebetulan saat Tarno mengambil tanah liat di Gunung Botak untuk membuat tungku api. Tungku api dimaksud untuk menyuling minyak kayu putih sebagaimana kebiasaan warga setempat.
Pulau Buru sudah lama dikenal dunia sebagai penghasil kayu putih. Itu seperti cerita penjelajah samudra asal Perancis, Louis de Bougainville, yang ditulis George Miller dalam buku berjudul Indonesia Timur Tempo Doeloe. Pada September 1768, rombongan Louis sudah menemukan tempat penyulingan minyak kayu putih di Buru.
Untuk membuat tungku, tanah itu dibentuk dalam bentuk adonan dengan cara dimasukkan ke dalam ember berisi air. Setelah adonan terbentuk, kemudian dikeluarkan dari ember, Tarno melihat semacam serbuk besi di dasar ember itu. Ia lalu membawa logam itu ke tukang emas di kota. Setelah diteliti, hasilnya positif emas.
Kabar penemuan emas pada Oktober 2011 itu seketika menyebar hingga ke telinga para pemburu emas. Mereka berdatangan mulai dari Jawa Bawat, Nusa Tenggara Barat, Jambi, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Barat. Cerita tentang penemuan emas itu dituturkan sejumlah warga di sekitar lokasi, salah satunya M Nurlete, keluarga pemilik hak ulayat di Gunung Botak. ”Kedatangan mereka tak bisa dibendung,” ujar Nurlete, Senin (10/12/2018).
Semula dengan cara didulang, pengolahan kemudian diubah menjadi tiga metode. Mereka menyebutnya tromol, dompeng, dan rendaman. Dengan metode tromol, material tambang terlebih dahulu dihancurkan, kemudian dicampur air dan merkuri, lalu dimasukan ke dalam tong. Merkuri sebagai pengikat logam. Tong itu lalu diputar menggunakan mesin diesel selama beberapa jam.
Untuk metode rendaman, petambang menyemprotkan air ke dinding gunung yang diyakini mengandung emas. Setelah disemprot, material tanah bercampur air yang runtuh dari dinding itu dialirkan melalui saluran yang beralaskan karpet. Karpet itu dapat menyerap logam, termasuk emas.
Sementara untuk metode rendaman, petambang mengumpulkan material tanah yang diyakini mengandung emas dengan alas terpal. Material itu dicampur sianida dan beberapa jenis pupuk non-organik. Setelah dibiarkan dua minggu, material itu dibongkar. Di atas terpal sudah ada logam emas.
Beberapa petambang yang tidak mau nama mereka disebut mengaku banyak emas di Gunung Botak. ”Saya punya mobil sekarang empat. Saya beli rumah dua. Saya kerja hanya enam bulan dapat lebih dari Rp 1 miliar,” kata warga asal Sulawesi Utara saat ditemui di Ambon. Saat ini, operasionalisasi Gunung Botak ditutup sementara setelah penertiban dilakukan pada Oktober lalu.
Saya punya mobil sekarang empat. Saya beli rumah dua. Saya kerja hanya enam bulan dapat lebih dari Rp 1 miliar.
Jumlah petambang di Gunung Botak sempat mencapai lebih dari 20.000 orang. Andaikan saja dalam satu bulan seorang petambang mendapatkan penghasilan paling kurang Rp 10 juta, maka dalam satu bulan total penghasilan paling sedikit Rp 200 miliar. Jika harga 1 gram emas sekitar Rp 500.000, maka dalam satu bulan emas yang diambil dari Gunung Botak sekitar 400 kilogram.
Sementara itu, berdasarkan analisis peneliti logam dari Universitas Pattimura, Ambon, Yusthinus Malle, dalam satu karung material tanah yang digali terdapat 30 gram emas. Jika dalam sehari satu petambang mendapatkan satu karung material, total emas yang dapat sekitar 600 kilogram. Kadar emas itu diukur Yusthinus di salah satu laboratorium di Australia.
Memang hingga kini tidak ada data resmi dari pemerintah terkait dengan kadar emas di Gunung Botak. Hal itu karena Gunung Botak sudah telanjur dirambah petambang liar. ”Petambang di Gunung Botak itu membeli mobil seperti mereka membeli kacang goreng. Mereka banyak uang,” kata Yusthinus, Kamis (13/12/2018).
Di saat tambang liar beroperasi tanpa kendali, Pemerintah Provinsi Maluku mengeluarkan izin bagi sejumlah perusahaan untuk menambang. Izin operasional itu diberikan sejak awal 2015. Namun, hingga kini, tidak ada laporan terkait dengan berapa banyak uang yang masuk ke kas negara. Gubernur Maluku Said Assagaff dalam sejumlah kesempatan belum dapat menjelaskan hal tersebut.
Setelah operasionalisasi tambang liar ataupun dari perusahaan-perusahaan dihentikan dua bulan lalu, masalah lingkungan kini menanti. Pencemaran merkuri sudah melebih ambang batas. Konsentrasi merkuri pada 30 persen sampel penelitian Yusthinus sudah melampaui batas atas standar nasional yang hanya 0,5 miligram per 1 kilogram sampel. Temuan pada udang lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dengan standar, ikan tujuh kali, kerang enam kali, dan kepiting dua kali.
Ia juga meneliti kandungan merkuri pada tubuh manusia dengan menjadikan rambut sebagai sampel. Hasilnya, pada rambut penduduk di sekitar tempat pengolahan emas, kadar merkuri 18 miligram per 1 kilogram sampel atau lebih tinggi 36 kali dari standar. ”Merkuri akan merusak generasi kita. Bukan tidak mungkin, tragedi Minamata di Jepang akan terulang di Buru,” kata Yusthinus.
Inilah bukti kekayaan alam tidak dikelolah secara profesional. Emas telah menguap pergi begitu saja. Negara kehilangan pendapatan dan nantinya akan mengeluarkan banyak uang untuk memperbaiki lingkungan di sana. Bencana kesehatan kini menanti di depan mata.