Lolos dari Pemecatan Partainya, May Kembali Fokus ke Negosiasi Brexit
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
LONDON, KAMIS — Perdana Menteri Inggris Theresa May selamat dari pemecatan oleh partainya. Kini, ia kembali fokus pada misi meyakinkan para pemimpin di Uni Eropa di Brussels untuk mengubah beberapa poin kesepakatan Brexit, yang telah disepakati antara May dan UE, terutama menyangkut opsi backstop, ganjalan utama bagi para anggota parlemen Inggris yang menentang kesepakatan Brexit tersebut.
May memastikan jabatannya aman setelah mayoritas anggota parlemen dari Partai Konservatif tetap mendukung dia. Dalam pemungutan suara internal partai, Rabu (12/12/2018) malam waktu London atau Kamis dini hari WIB, 200 dari 317 anggota parlemen dari Konservatif mendukung May.
”Saya senang mendapat dukungan dari kolega saya dalam pemungutan suara malam ini. Kolega dengan jumlah signifikan memang menentang saya dan saya mendengar apa yang mereka sampaikan,” tutur May seusai pemungutan suara.
Pemungutan suara itu digelar setelah 48 anggota parlemen dari Konservatif mengajukan mosi tidak percaya kepada May. Mereka marah terhadap kebijakan Brexit yang dipilih May. Mereka menyebut May telah mengkhianati hasil referendum tahun 2016.
Seperti di banyak negara yang menerapkan sistem parlementarian, kepala pemerintahan adalah pemimpin partai atau koalisi partai pemilik kursi terbanyak di parlemen. Di Inggris, pemerintah harus didukung oleh partai atau koalisi partai pemilik sedikitnya 326 dari seluruh 650 kursi parlemen.
May memimpin Partai Konservatif sekaligus koalisi yang terdiri dari 327 anggota parlemen. Di parlemen, Partai Konservatif mempunyai 317 kursi. Partai itu berkoalisi dengan Partai Unionis Demokrat (DUP) yang mempunyai 10 kursi.
Para pengusul mosi tidak menyerah dengan hasil pemungutan suara. ”Dia harus menemui Ratu dan menyatakan mundur,” kata Jacob Rees-Mogg, salah seorang inisiator mosi.
Fokus Brexit
Dengan hasil pemungutan suara pada Selasa malam itu, May tetap menjadi PM Inggris. Kepastian itu membuatnya bisa kembali fokus memperjuangkan dukungan bagi perubahan beberapa poin proposal pemisahan Inggris dari Uni Eropa (Brexit). May membutuhkan persetujuan parlemen agar proposal yang sudah disepakatinya dengan para pemimpin EU itu bisa berjalan.
Ia menekankan akan kembali fokus mengurus Brexit dan berharap para politisi dari semua kubu bersatu. Kamis (13/12/2018), ia terbang ke Brussels untuk meminta dukungan tambahan dari pemimpin UE pada proposal Brexit.
May menyatakan akan terus mencari jaminan hukum dan politik untuk proposal itu. Salah satu ganjalan dari proposal itu adalah soal pengawasan perbatasan di Irlandia utara. Di proposal disepakati penghindaran penjagaan di perbatasan antara Irlandia Utara, wilayah Inggris di Pulau Irlandia, dan Republik Irlandia, negara yang berbagi Pulau Irlandia dengan Irlandia Utara.
Seperti apa bentuknya, masalah perbatasan tersebut masih akan dirundingkan pasca-Brexit. Selama kesepakatan itu belum tercapai, barang-barang dari Irlandia Utara masih masuk dalam bea cukai UE dalam waktu tak terbatas. Anggota parlemen Inggris menentang klausul itu. Sebab, poin itu dianggap bakal membuat Inggris terbelenggu dalam waktu tak terbatas pada aturan bea cukai Uni Eropa.
Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan tetap berharap pada Brexit yang teratur. Ia menegaskan tidak ada niat untuk mengubah kesepakatan.
PM Irlandia Leo Varadkar menyatakan setuju memberikan jaminan bagi Inggris. Akan tetapi, kesepakatan tidak bisa dibahas lagi atau dibuat bertentangan.
Tidak mudah
Tidak mudah bagi May untuk mendapat persetujuan parlemen, terlebih setelah melihat hasil pemungutan suara pada Rabu malam. Voting itu jelas menunjukkan ada 117 anggota partainya yang tidak mendukung proposal Brexit yang sedang diperjuangkan May.
Dalam berbagai kesempatan, May menegaskan, hanya ada opsi menerima proposal itu atau menolaknya. Penolakan berarti Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan apa pun. Sementara penerimaan para proposal itu berarti Inggris mempunyai kesepakatan dengan UE soal cara negara itu keluar dari UE. Kesepakatan itu termasuk masa transisi 21 bulan terhitung sejak April 2019.
May sama sekali menolak opsi referendum ulang. Mahkamah UE pada Senin (10/12/2018) mengeluarkan keputusan bahwa Inggris dapat membatalkan Brexit secara sepihak. Untuk itu, Inggris perlu menggelar referendum ulang sebelum 29 Maret 2019, waktu terakhir Inggris bergabung dengan UE.
Inggris harus keluar dari UE setelah mayoritas pemilih memutuskan demikian lewat referendum pada 2016. Sejak itu, Inggris berunding dengan 27 anggota UE lainnya tentang mekanisme Brexit. Perundingan itu mencapai hasil pada November 2018. Selanjutnya, agar kesepakatan itu bisa berlaku, dibutuhkan persetujuan parlemen Inggris dan UE.