JAKARTA, KOMPAS — Payung hukum terhadap perseorangan ataupun kelompok yang intens melakukan pembelaan terhadap isu-isu hak asasi manusia diperlukan untuk melindungi mereka dari kriminalisasi. Sepanjang 2010-2018, 131 aktivis atau pembela HAM mengalami ancaman dan kekerasan, baik fisik maupun psikis, dari berbagai kelompok masyarakat dan profesi.
Ketiadaan payung hukum bagi para pembela HAM untuk berkegiatan dan belum adanya definisi yang jelas tentang siapa saja yang bisa disebut sebagai pembela HAM membuat mereka akan tetap rentan dikriminalisasi dan mengalami kekerasan. Selama belum ada payung hukum, di sisi lain aparat penegak hukum diharapkan menghentikan kekerasan dan cara-cara represif dalam merespons upaya advokasi HAM di lapangan.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (13/12/2018), Yayasan Perlindungan Insani yang mengundang sejumlah narasumber dari kelompok pembela HAM menyoroti persoalan ini. Menurut data mereka, dari 131 pembela HAM yang mengalami kekerasan, 107 orang dikriminalisasi atau harus menghadapi proses hukum, 20 orang mengalami kekerasan fisik, dan 4 orang lainnya mengalami kekerasan psikis.
Adapun pelaku kekerasan terhadap pembela HAM itu meliputi polisi (30 kasus), perusahaan (8 kasus), orang tidak dikenal (8 kasus), akademisi (2 kasus), hakim (64 kasus), dan lain-lain, yakni TNI, tokoh adat, pemerintah kota, pemerintah provinsi, kelompok intoleran, purnawirawan polisi, masyarakat, anggota satpam, polisi hutan, preman, satuan polisi pamong praja, Badan Narkotika Nasional, pemerintah kabupaten, dan pengacara masing-masing 1 kasus.
”Tingginya angka tersebut menunjukkan bahwa Deklarasi Pembela HAM belum mampu ditegakkan di Indonesia. Dalam pertemuan dengan para pembela HAM muncul beragam testimoni dari mereka yang mengalami kekerasan dan ancaman saat melakukan kerja-kerja pembelaan HAM,” kata Herlambang P Wiratraman, Ketua Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, yang menjadi salah satu fasilitator dalam pertemuan dengan kelompok advokasi HAM yang diadakan Yayasan Perlindungan Insani.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain Devi Indriani (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau), Magdalena Kafiar (Papua), Budi Pego (Banyuwangi), Farida Hariani (Aceh), dan Sandrayati Moniaga (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia/Komnas HAM).
Sejumlah pembicara mengaku menghadapi ancaman dan beberapa telah dijatuhi vonis penjara. Salah satunya Budi Pego yang divonis 4 tahun penjara oleh Mahkamah Agung dalam upaya advokasi lahan pertambangan di Banyuwangi. ”Dari awal, yang kami lakukan adalah penolakan tambang, tetapi kemudian isunya dibelokkan dengan penyebaran paham tertentu,” katanya.
Lima rekomendasi
Sandrayati mengatakan, Komnas HAM mengusulkan agar DPR dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memasukkan ketentuan perlindungan pembela HAM ke dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Di samping itu, upaya pembangunan kesadaran kepada penegak hukum terus dilakukan sehingga mereka tidak melakukan kriminalisasi terhadap pembela HAM.
”Ada juga upaya untuk mendorong pembentukan UU Perlindungan Pembela HAM. Namun, Komnas HAM saat ini fokus untuk memasukkan upaya perlindungan itu juga ke dalam revisi UU HAM,” kata Sandra.
Dari pertemuan kemarin dihasilkan lima rekomendasi. Salah satunya ialah mendorong Presiden membuat regulasi di tingkat kepresidenan terkait dengan pembela HAM. Selain itu, Kantor Staf Presiden diminta untuk mengoordinasi lembaga-lembaga negara pemantau akuntabilitas negara guna melakukan koordinasi dalam perlindungan kepada pembela HAM.