PALU, KOMPAS - Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah telah menerima peta zona rawan bencana dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan lembaga terkait. Peta itu akan menjadi dasar untuk revisi tata ruang Sulawesi Tengah, Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, yang dihantam gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September lalu.
Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Sulteng Saefullah Djafar menyatakan, peta zona rawan bencana itu diserahkan dalam rapat terbatas di Kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Selasa kemarin. “Peta tersebut menjelaskan zona, tipologi, definisi, dan arahan spasial pascabencana,” kata Djafar kepada Kompas di Palu, Sulteng, Kamis (13/12/2018).
Berdasarkan zona dan tipologi, Kota Palu, Sigi, dan Donggala terbagi dalam empat zona, yakni zona terlarang yang dalam peta berwarna merah, zona terbatas (kuning tua), zona bersyarat (kuning), dan zona pengembangan (kuning muda).
Zona merah merupakan titik likuefaksi masif pada saat gempa bumi, seperti terjadi di Kelurahan Petobo dan Balaroa di Kota Palu dan Desa Jono Oge serta Sibalaya di Kabupaten Sigi. Selain itu, masuk pula pada zona merah yakni zona sempadan pantai rawan tsunami, zona sempadan patahan aktif Palukoro dalam jarak paling jauh 10 meter, dan zona rawan gerakan tanah tinggi.
Zona kuning tua didefinisikan zona sempadan patahan aktif Palukoro (10-15 meter), zona potensi likuefaksi sangat tinggi, zona rawan tsunami tinggi di luar sempadan pantai, dan zona gerakan tanah tinggi.
Sementara, zona kuning meliputi zona potensi likuefaksi tinggi, zona rawan tsunami menengah, dan zona rawan gerakan tanah menengah. Adapun zona kuning muda mencakup zona rawan likuefaksi sedang, zona potensi tsunami rendah, serta zona rawan gerakan sangat rendah dan rendah.
Saefullah menyatakan, semua zona selain merah masih bisa untuk permukiman dengan syarat tertentu yang detailnya tercantum dalam rencana tata ruang dan wilayah. Sementara, zona merah menjadi kawasan terlarang yang tak boleh ada permukiman di situ.
Dengan melihat peta itu, zona merah dan kuning tua tersebar di sisi selatan dan barat Kota Palu, bagian utara Kabupaten Sigi yang berbatasan dengan Kota Palu, serta bagian barat di bawah lereng gunung Gawalise. Saat gempa lalu, daerah-daerah itu menjadi titik likuefaksi dan tsunami.
Di Kota Palu, likuefaksi menghantam Kelurahan Petobo di sisi selatan dan Balaroa di sisi barat. Di Sigi, likuefaksi terjadi di Desa Sibalaya, Kecamatan Tanambulawa, di sisi timur dan sebagian di sisi barat di seberang Sungai Palu atau di kaki lereng Pegunungan Gawalise.
Saefullah menyatakan, peta zona rawan bencana itu menjadi acuan utama untuk revisi tata ruang dan wilayah (RTRW) serta turunannya, yakni rencana detail tata ruang. Diperkirakan, revisi itu paling lambat rampung Agustus tahun depan.
Pantauan di Kelurahan Mamboro, warga membangun hunian darurat di daerah bekas sapuan tsunami yang merupakan lokasi rumah mereka berdiri dulu. Mereka membangun hunian sementara dari papan dan seng di atas puing-puing kehancuran akibat tsunami. Lokasi itu berjarak kurang dari 100 meter dari tepi pantai. Saat tsunami, kawasan itu tersapu bersih.
“Kami belum terpikir untuk ke hunian sementara yang dibangun oleh pemerintah. Kami mau tetap di sini,” kata Novita (34), warga Kelurahan Mamboro. Hunian sementara yang sedang dibangun pemerintah berjarak hampir 0,5 km dari lokasi Novita membangun hunian sementara.
Mereka bahkan berencana untuk membangun balai pertemuan permanen dan sejumlah unit kamar kecil (toilet). Novita mengatakan, kalau nanti daerah itu menjadi zona terlarang untuk permukiman, dirinya akan patuh. “Tetapi, sejauh ini belum ada informasi apa pun yang kami terima,” katanya.