JAKARTA, KOMPAS — Revisi keenam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dinilai tak berpihak kepada badan usaha milik negara atau BUMN. Perpanjangan operasi tanpa melalui lelang seperti yang tercantum dalam draf revisi dianggap bertentangan dengan undang-undang. Pemerintah sebaiknya memprioritaskan BUMN untuk mengelola sumber daya tambang dalam negeri.
Dalam revisi Pasal 112, pemegang kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang belum mengantongi perpanjangan operasi diizinkan untuk diperpanjang menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tanpa mekanisme lelang. Pertimbangan pemerintah untuk persoalan ini adalah penerimaan negara. Selain itu, mereka diperbolehkan mengajukan perpanjangan operasi secepatnya 5 tahun sebelum masa kontrak berakhir. Aturan ini mengubah ketentuan sebelumnya di mana pengajuan perpanjangan bisa dilakukan paling cepat 2 tahun sebelum kontrak habis.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengatakan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, KK dan PKP2B yang habis masa berlakunya, sumber daya mineral atau batubara harus dikembalikan ke negara. Selanjutnya, sumber daya yang dikembalikan ke negara tersebut berubah statusnya menjadi wilayah pencadangan negara (WPN). Lewat mekanisme di DPR, WPN dilelang.
”Namun, BUMN mendapat prioritas utama untuk mengelola WPN tersebut. Apabila tidak sanggup, baru ditawarkan ke daerah (BUMD) dan pilihan terakhir diserahkan ke swasta nasional. Jadi, tak semerta-merta diserahkan ke pemegang KK dan PKP2B yang berjalan,” ujar Marwan dalam sebuah diskusi, Rabu (12/12/2018), di Jakarta.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta, Ahmad Redi menambahkan, apa yang diatur dalam draf revisi tersebut bertentangan dengan aturan di atasnya yang lebih tinggi, yaitu UU No 4/2009. Sesuai amanat UU, perubahan status dari KK dan PKP2B menjadi IUPK tidak bisa dilakukan begitu saja. Semua harus melalui serangkaian proses seperti yang diatur dalam UU.
”Prioritaskan BUMN. Apabila tidak sesuai UU, revisi peraturan pemerintah itu cacat konstitusi. Ini sudah sesuai dengan amanat konstitusi bahwa kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia harus dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Redi.
Sementara itu, mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Simon F Sembiring mengakui bahwa ada banyak masalah dalam tata kelola perundangan sektor tambang Indonesia. Apabila mengacu UU No 4/2009, status KK dan PKP2B yang ada saat ini dinyatakan ilegal. Pasalnya, sejak UU tersebut disahkan, KK dan PKP2B harus berubah menjadi IUPK selambatnya setahun setelah UU tersebut berlaku. Ia juga bersikukuh bahwa KK dan PKP2B yang habis masa berlakunya harus dikembalikan ke negara menjadi WPN.
Menanggapi revisi peraturan pemerintah tersebut, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, soal perpanjangan operasi yang diberikan pemerintah tanpa mekanisme lelang memang dibutuhkan pengusaha. Menurut dia, pengusaha memerlukan kepastian investasi terhadap biaya yang sudah mereka keluarkan. Keputusan perpanjangan yang diberikan jauh hari sebelum masa kontrak berakhir akan memudahkan perencanaan investasi.
”Pengusaha sudah banyak berinvestasi dan berhak untuk tahu nasib investasinya. Kami perlu kepastian hukum,” ucap Hendra.
Apalagi, lanjut Hendra, produksi batubara dari pemegang PKP2B berkontribusi 40 persen terhadap produksi batubara nasional yang angkanya di atas 400 juta ton per tahun. Bahkan, untuk kewajiban memasok batubara di dalam negeri (domestic market obligation/DMO), kontribusi pemegang PKP2B sebesar 80 persen. Artinya, peran PKP2B cukup vital bagi keberlangsungan pasokan batubara di Indonesia.
Peraturan untuk sektor tambang mineral dan batubara di Indonesia memang tengah mendapat sorotan. Bahkan, UU No 4/2009 itu sendiri sedang dalam proses revisi di DPR. UU ini sudah masuk program legislasi nasional sejak 2015.
Sebelumnya, anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra Ramson Siagian mengatakan, sulit sekali untuk menuntaskan revisi UU Nomor 4/2009 tersebut. Menurut dia, revisi tidak akan selesai tahun ini. Kemungkinan besar revisi akan dituntaskan setelah hajatan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu legislatif rampung tahun depan.
”Tahun 2018 jelas tidak akan selesai. Pembahasan revisi masih dalam tahap penyisiran oleh Badan Legislasi,” ujar Ramson.